Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Jumat, 11 Juli 2025

LBH Pers Minta DPR Cabut Pasal-pasal RUU Penyiaran yang Bertentangan UU Pers

* IJTI: Mengancam Kebebasan Pers
Redaksi - Selasa, 14 Mei 2024 10:00 WIB
376 view
LBH Pers Minta DPR Cabut Pasal-pasal RUU Penyiaran yang Bertentangan UU Pers
WahanaNews.co
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers ikut menyoroti draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru. Ilustrasi
Jakarta (SIB)


LBH Pers turut menyoroti draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru. Direktur LBH Pers Wahyudin mendesak DPR RI mengevaluasi dan mencabut pasal-pasal dalam RUU Penyiaran yang bertentangan dengan UU Pers.


"Pandangan kami tidak jauh berbeda dengan AJI dan Dewan Pers. Iya harus ada evaluasi dan mencabut pasal-pasal yang bertentangan dengan UU Pers," kata Wahyudin saat dihubungi, Minggu (12/5).

Baca Juga:

Wahyudin pun mengaku heran dengan Draft RUU Penyiaran yang paling baru. Dia penasaran dengan latar belakang dan tujuan masuknya pasal-pasal yang bertentangan dengan UU Pers.


"Yang sebenarnya membuat penasaran kami adalah apa latar belakang dan tujuan masuknya pasal tersebut, hal ini penting dijelaskan oleh perumus RUU," ucap dia.

Baca Juga:

Dia mengaku aneh lantaran DPR RI tidak mengetahui bahwa konten jurnalistik dilindungi oleh UU Pers. "Aneh, harusnya sebagai perumus sudah memahami betul bahwa konten jurnalistik itu adalah konten yang dilindungi UU. Khususnya UU Pers," lanjutnya.


Memberangus Pers
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru menuai polemik di publik. RUU tersebut dinilai berbagai pihak memberangus kebebasan pers.


Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Dewan Pers, hingga Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) satu suara merespons RUU Penyiaran tersebut. Mereka kompak menilai RUU itu bernada negatif untuk kemerdekaan pers.


Ancam
Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan menyebut draf RUU Penyiaran disusun tidak cermat. Dia menilai RUU itu berpotensi mengancam kebebasan pers.


"Dari proses penyusunan, IJTI menyayangkan draf revisi UU Penyiaran terkesan disusun secara tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers, terlebih penyusunan tidak melibatkan berbagai pihak seperti organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers. Dalam draf revisi UU Penyiaran terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI," kata Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan melalui keterangan tertulis, Sabtu (11/5).

Herik menuturkan Pasal 50 B ayat 2 huruf C pada draf revisi UU Penyiaran melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Pasal tersebut menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan.


"IJTI memandang pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan. Pertanyaan besarnya, mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalistik investigasi? Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik, maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan di televisi," ujarnya.


Menurutnya, adanya pelarangan penayangan karya jurnalistik investigasi sebagai upaya pembungkaman dan intervensi bagi kebebasan pers. Dia menyebut hal itu sebagai ancaman serius karena berpotensi menjadi alat kekuasaan dan politik.


"Secara substansi, pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di Tanah Air. Upaya ini tentu sebagai suatu ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab. Tidak hanya itu, dikhawatirkan revisi RUU Penyiaran akan menjadi alat kekuasaan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas," tuturnya.


Selan itu, IJTI menyoroti Pasal 50 B ayat 2 huruf K tentang isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal tersebut dinilai membingungkan dan berpotensi membungkam kerja jurnalis.


"Pasal ini sangat multitafsir, terlebih yang menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik. IJTI memandang pasal yang multitafsir dan membingungkan berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam dan mengkriminalisasikan jurnalis/pers," ucapnya.


"Kita sepakat bahwa sistem tata negara menggunakan demokrasi, dan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Pers memiliki tanggung jawab sebagai kontrol sosial agar proses bernegara berjalan transparan, akuntabel dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik," lanjutnya.


Selanjutnya Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. IJTI meminta pasal tersebut dikaji ulang.


"Pasal ini harus dikaji ulang karena bersinggungan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers. IJTI juga memandang bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR," jelasnya.


"Sesuai dengan UU Pers telah jelas bahwa komunitas pers mendapat mandat untuk membuat regulasi sendiri dalam rangka mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas melalui self regulation. Oleh karena itu, setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik, baik penyiaran, cetak, digital (online) hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers. Langkah ini guna memastikan bahwa kerja-kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas dan bertanggungjawab bisa berlangsung independent serta tidak ada intervensi dari pihak mana pun," imbuhnya.(**)



SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru