Dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata, kata Penrad, Pasal 14 UU No3/2022 tentang pertahanan negara menegaskan, Presiden berwenang dan bertanggungjawab atas pengerahan kekuatan TNI.
"Menghapus kewenangan Presiden berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal ini melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi menata hubungan sipil-militer yang demokratis," katanya.
Baca Juga:
Ketiga, ujar pendeta GBKP ini, perluasan keterlibatan peran TNI di luar sektor pertahanan negara dengan dalih
Operasi Militer Selain Perang (OMSP) juga dipermudah, mengingat adanya usulan perubahan, dalam pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP), tidak lagi berdasarkan keputusan politik negara, termasuk dalam hal ini otoritas DPR.
"Jika usulan perubahan ini disetujui, hal ini berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR," tandasnya.
Baca Juga:
Keempat, tambah Penrad, perluasan usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas sebagaimana tercantum dalam draft RUU Pasal 47 point 2 dapat membuka ruang kembalinya dwi fungsi TNI.
"Upaya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif dalam draft revisi UU TNI dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik. Hal ini tentunya menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara," jelas Penrad.(**)