Jakarta (SIB)
Masalah perubahan iklim yang saat ini melanda dunia semakin mengkhawatirkan. Dampaknya di masa depan menjadi satu hal yang dapat mengancam keberlangsungan hidup di Bumi. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Menteri Luar Negeri RI Pahala Mansury seperti yang dilansir dari Koran SIB.
Belian mengatakan, tidak mungkin banjir dahsyat di zaman Nabi Nuh akan terjadi di masa depan akibat perubahan iklim.
Baca Juga:
"Nabi Nuh selalu berkhotbah tentang kemungkinan banjir besar yang akan datang. Namun tidak ada satu pun masyarakat, termasuk anaknya sendiri, yang percaya," ujar Pahala dalam acara Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2024 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Sabtu (24/8).
"Saya khawatir bahwa dalam hitungan dekade atau bahkan tahun, kisah banjir besar tentang bahtera Nuh dan kota yang tenggelam bukan hanya mitos. Ini sudah menjadi sesuatu yang benar-benar kita lihat saat ini."
Baca Juga:
Pahala menjelaskan bahwa peringatan soal darurat iklim sudah datang dari para ilmuwan sejak tahun 1965, namun upaya untuk mengatasinya baru banyak digaungkan belakangan ini.
"Sebenarnya sudah agak terlambat untuk mengatasi krisis iklim. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana kita akan menanggapi peringatan ini?," lanjut dia, seraya menyerukan peringatan yang menyebut Kota Jakarta menjadi salah satu kota tercepat yang akan tenggelam di dunia.
Peran Indonesia
Indonesia, sebut Pahala, memiliki peran strategis dalam melakukan upaya mitigasi mengatasi
perubahan iklim.
Dalam keanggotaan Indonesia di G20 dan sebagai ekonomi terbesar ke-16 di dunia, Indonesia memiliki peran besar dalam mencapai target tahun 2045.
"Di banyak negara berkembang, dukungan diperlukan untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berjalan seiring dengan emisi yang lebih rendah. Jadi apa yang sebenarnya kita coba lakukan adalah menumbuhkan ekonomi sekitar 8 persen setiap tahun, pada saat yang sama juga perlu menumbuhkan isu energi," tutur Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara tahun 2020 hingga 2023.
Lebih lanjut, Indonesia juga memiliki potensi dalam menyerap dan menyimpan karbon.
"Indonesia memiliki kemampuan untuk dapat menyerap sejumlah besar karbon lebih dari 400 hingga 600 gigaton di reservoir yang terkuras," sambungnya.
Transisi Energi
Transisi energi menjadi satu poin penting yang ditegaskan oleh Pahala sebagai salah satu upaya mengatasi
perubahan iklim. Terlebih sektor energi saat ini berkontribusi terhadap ebih dari 70 persen emisi gas rumah kaca, baik dari transportasi industri, bangunan, dan lain-lain.
"Indonesia memiliki banyak potensi energi terbarukan tetapi pada saat yang sama, kita juga memiliki kekayaan sumber daya alam berupa mineral-mineral penting," ungkapnya.
Upaya transisi energi kemudian juga berkaitan erat dengan pembiayaan.
"Kita semua perlu benar-benar bersiap dalam hal bagaimana kita dapat memastikan ada lebih banyak pembiayaan. Tetapi saat ini, ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membiayai transisi energi, tapi juga memberi kesempatan dan tanggung jawab pihak lain seperti swasta, Lembaga keuangan internasional hingga filantropis," sambungnya.
Pahala pun mendorong keterlibatan berbagai pihak untuk ikut turun tangan menangani masalah iklim.
"Kita perlu mengingatkan diri kita sendiri bahwa ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Bukan hanya tanggung jawab berbagai organisasi internasional untuk benar-benar mendorong ini. Ini juga merupakan tanggung jawab dari sektor swasta, dari bank, dari kita semua, masing-masing dari kita, untuk dapat mencapai target," imbuh dia.
Jadi Pelopor
Dilaporkan terpisah, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, Indonesia menjadi negara pertama yang membahas masalah
perubahan iklim dalam agenda ekonomi dan finansial.
Dalam acara
Indonesia Net-Zero Summit 2024 pada Sabtu (24/8), Bendahara Negara itu mengatakan, Republik Indonesia (RI) menjadi pelopor pertama yang mengangkat isu ini ke dalam rapat-rapat di bidang perekonomian.
Langkah ini telah dimulai sejak 2007 kala ia menjabat posisi Menkeu di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Pada tahun 2007 waktu Indonesia diberi kesempatan untuk menjadi tuan rumah Conference of the Parties (COP) ke-13 di Bali, pada saat itu saya sebagai menteri keuangan diminta oleh UN special envoy, bagaimana kalau di dalam COP meeting yang biasanya memang selalu dihadiri menteri-menteri lingkungan hidup, bagaimana kalau menteri keuangan mulai hosting para menkeu dan menteri pembangunan untuk bicara climate change," kata menteri yang akrab disapa Ani itu.
Ani mengatakan, saat itu menteri yang bicara mengenai masalah
perubahan iklim hanyalah menteri lingkungan hidup. Padahal, implikasi
perubahan iklim terhadap sisi perekonomian dan finansial sangat besar.
Para pembuat kebijakan di bidang ekonomi dan finansial pun, menurutnya, cuma akan jadi penonton jika tidak memahami gentingnya masalah yang sudah mulai melanda dunia ini. Yang lebih parah, mereka bisa jadi musuh
perubahan iklim sesungguhnya.
"Di situlah muncul tanggung jawab sebagai menteri keuangan untuk me-mainstream-kan climate change di dalam pembahasan menteri-menteri keuangan," ujar Ani.
Ani mengamini bahwa kala itu situasi dunia sulit karena tengah dihadapkan krisis finansial global. Oleh sebab itu, banyak pihak yang mungkin menilai masalah
perubahan iklim hanya menjadi beban tambahan.
"Sehingga Indonesia jadi the first initiator untuk mulai mengundang para menteri keuangan dan menteri pembangunan bicara climate change. Dan sejak itu di 2008, Presiden Bank Dunia waktu itu, Robert B. Zoellick, dia bahkan mulai membangun tradisi apa yang disebut 'Bali breakfast' di setiap annual meeting Bank Dunia. Di situlah, climate change mulai jadi agenda utama dalam menteri keuangan," ucapnya.
Sri Mulyani dianugerahi Climate Hero Award oleh
Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dalam acara bertajuk
Indonesia Net-Zero Summit 2024.
Penghargaan ini diberikan karena Sri Mulyani secara signifikan mendorong isu pertumbuhan ekonomi hijau dan dekarbonisasi di Indonesia.
Penghargaan ini diserahkan karena Ani merupakan figur pemerintah yang pertama kali menyoroti ancaman
perubahan iklim sebagai tantangan yang lebih besar daripada pandemi Covid-19.
Ia mengambil peran penting dalam membentuk kebijakan yang memperkuat tata kelola keuangan Indonesia dalam transisi menuju net-zero.
Langkah-langkah Ani terkait ini mencakup penerbitan pajak karbon, pengembangan pasar karbon, serta peluncuran Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform di Indonesia.
Selain itu, dia juga berperan aktif dalam berbagai platform internasional, termasuk Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim (Coalition of Finance Ministers for Climate Action), guna mendukung pendanaan transisi iklim nasional.(**)