Jakarta (SIB)
Manuel Suryawijaya punya impian untuk belajar ilmu farmasi di
Monash University di Melbourne,
Australia.
Meski masih duduk di bangku SMA, ia sudah membuat rencana mewujudkan keinginannya untuk dua tahun ke depan.
Tetapi kebijakan pemerintah
Australia yang membatasi jumlah penerimaan mahasiswa internasional membuatnya cemas.
Baca Juga:
"Dengan kebijakan ini sih lebih ke arah anxious, karena merasa ada beban (supaya aplikasinya) lebih stand out," katanya, baru-baru ini.
"Harus berusaha lagi lebih maksimal supaya bisa keterima."
Menteri Pendidikan
Australia Jason Clare minggu ini mengumumkan rencana untuk membatasi pendaftaran internasional di seluruh perguruan tinggi dan sekolah kejuruan menjadi 270.000 pada tahun 2025.
Baca Juga:
Jumlah tersebut hampir mendekati angka sebelum pandemi Covid-19, tapi 20 persen lebih rendah.
Keputusan tersebut diumumkan sebagai bagian dari upaya untuk menindak dugaan penyalahgunaan visa pelajar untuk tinggal dan bekerja di
Australia, selain juga eksploitasi di sektor pendidikan internasional.
Pemerintah
Australia juga melihat persaingan ketat dalam menyewa rumah di
Australia, meski tidak terbukti secara data.
Dalam pidato anggarannya, Bendahara
Australia Jim Chalmers mengatakan pendaftaran mahasiswa internasional telah melampaui jumlah akomodasi khusus mahasiswa yang tersedia.
Menurutnya, hal ini membuat "pencarian tempat tinggal menjadi lebih sulit bagi semua orang."
Manuel melihat sisi positif dari keputusan pemerintah
Australia, yakni memastikan kedatangan mahasiswa ke
Australia adalah dengan niat yang sungguh-sungguh untuk belajar.
Namun, ia khawatir harus bersaing dengan mahasiswa internasional lainnya.
Calon mahasiswa lain dari Indonesia, Cindy Heriadi, mengatakan pengumuman pembatasan visa pelajar malah memotivasinya untuk "belajar lebih giat" supaya bisa kuliah di
Australia.
"Dengan adanya pembatasan ini pasti persyaratan masuk ke universitas
Australia pasti lebih tinggi kan?" katanya.
"Untuk sekarang saya cuma bisa dukung pihak
Australia karena saya enggak bisa ngapa-ngapain."
Namun Cindy, yang ingin kuliah di Perth, juga mempertanyakan keputusan pemerintah untuk membatasi kuota mahasiswa internasional.
"Kalau ada pembatasan gini malah hubungan global-nya berkurang dan daya tarik kita ke universitas
Australia nya juga bisa berkurang," katanya.
Ekspor terbesarPendidikan internasional merupakan salah satu ekspor terbesar
Australia, senilai $48 miliar pada tahun 2023 menurut data Biro Statistik
Australia (ABS).
University of Sydney menerima pendaftaran mahasiswa internasional terbanyak, diikuti oleh University of Queensland (34 persen), University of Melbourne (33 persen),
Monash University (31 persen) dan Universitas New South Wales (31 persen).
Ngaire Bogemann, presiden National Union of Students, mengatakan kepada ABC awal pekan ini jika pembatasan jumlah mahasiswa internasional "menutup pintu bagi ratusan calon mahasiswa."
"Sekitar 741.000 mahasiswa internasional di
Australia merupakan bagian penting dari komunitas kampus kami yang beragam," katanya.
"Pemerintah
Australia pada dasarnya mengatakan mereka tidak diterima di sini."
Beberapa perguruan tinggi di pinggiran kota menyambut baik perubahan kebijakan pemerintah, tapi universitas besar khawatir jika calon mahasiswa internasional akan mencari negara lain.
"Kami tahu mahasiswa internasional bukan memilih negaranya, mereka lebih memilih universitas, dan jika mereka tidak diterima, mereka mungkin akan pergi ke negara lain," ujar Margaret Sheil, wakil ketua lembaga Universities
Australia dan wakil rektor Queensland University of Technology.
Khawatir lari ke negara lain
Agen pendidikan di Jakarta, Janto Sugiharto So mengaku khawatir mahasiswa akan memilih ke negara lain seperti Inggris, Amerika, atau Singapura untuk kuliah.
Amerika dan Inggris tidak membatasi jumlah mahasiswa internasional dan beberapa agen pendidikan mendorong mahasiswa untuk belajar di sana.
Janto mengatakan "tidak keberatan" dengan keputusan pemerintah
Australia, selama bersifat "hanya untuk jangka pendek."
"Yang penting, rencananya jelas," katanya.
Jika terbukti penyebabnya adalah karena persaingan sewa rumah, ia mengatakan "solusi terbaik" untuk jangka panjang adalah dengan membangun lebih banyak akomodasi mahasiswa internasional.
Janto mendukung adanya tindakan yang diambil untuk menghentikan eksploitasi mahasiswa internasional, tetapi ia khawatir jika pembatasan jumlah pelajar internasional di
Australia malah menjadi kebijakan yang "hantam kromo" atau pukul rata.
"Dampaknya
Australia akan kehilangan murid -murid yang berkualitas," katanya.
"Karena kan dengan adanya limit, berarti kan 'first come, first serve'.
"Padahal [untuk] sekolah keluar itu kan memerlukan proses ... dia pikirnya panjang itu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun."
Masih mau kuliah
Beberapa universitas bergengsi di
Australia sudah mengirimkan undangan untuk mendaftar bagi mahasiswa internasional di tahun 2025, meski masih ada ketidakpastian mengenai jumlah tempat yang diizinkan.
Setidaknya 11 institusi sudah mengajukan penawaran sebelum pengumuman pemotongan jumlah tersebut pada hari Selasa.
Beberapa universitas tidak yakin apakah mereka harus membatalkan undangan untuk belajar ke
Australia tahun depan.
Meski ada ketidakpastian, baik Manuel maupun Cindy tetap ingin belajar di
Australia.
"Saya rasa kuliah di
Australia setara dengan harga kuliah di negara-negara lain yang memiliki universitas berkualitas tinggi, makanya saya tidak merasa rugi," katanya.
Ia berharap pemerintah
Australia dapat meninjau kembali kebijakan tersebut.
"Harapannya kalau pun ada cap [pemotongan] mungkin lebih dipertimbangkan lagi mengenai jumlahnya," katanya.
Cindy merasa tidak akan menyesali keputusannya untuk belajar di
Australia.
"I think biaya yang saya keluarkan akan jadi worth it kalau saya benar-benar belajar," katanya.
"Karena saya tidak hanya membayar untuk pendidikannya tapi juga untuk kualitas hidup di
Australia." (**)