Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 12 Agustus 2025

Menggali Kembali Memori: Sepak Terjang Jokowi dan Wawancara Kontroversial Mantan Ketua KPK

Redaksi - Senin, 11 Agustus 2025 19:38 WIB
71 view
Menggali Kembali Memori: Sepak Terjang Jokowi dan Wawancara Kontroversial Mantan Ketua KPK
(Foto ist)
Jokowi dan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo.
Jakarta(harianSIB.com)
Nama Joko Widodo, atau akrab disapa Jokowi, tak dapat dipisahkan dari sejarah politik Indonesia modern. Sosoknya yang merakyat, blusukan, dan janji transparansi sempat membangkitkan asa jutaan rakyat akan perubahan. Namun, di penghujung masa jabatannya, narasi tentang pemimpin yang diidolakan mulai diuji oleh berbagai kritik dan pertanyaan. Salah satunya adalah pengakuan mengejutkan dari mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo.

Sebuah wawancara yang menampilkan Agus Rahardjo dua tahun lalu kembali beredar di media sosial dan menjadi perbincangan hangat. Dalam program Rosi di Kompas TV pada 1 Desember 2023, Agus Rahardjo, yang menjabat sebagai Ketua KPK periode 2015-2019, mengungkapkan pengalamannya saat menangani kasus korupsi e-KTP.

Klarifikasi dan Bantahan yang Saling Bertolak Belakang

Baca Juga:

Dalam wawancara tersebut, Agus mengaku pernah dimarahi langsung oleh Presiden Jokowi. Ia menyatakan bahwa Jokowi memintanya untuk menghentikan pengusutan kasus korupsi e-KTP yang ramai pada tahun 2017. Lebih lanjut, Agus menyebut bahwa Jokowi memanggilnya secara pribadi, sebuah hal yang tidak lazim mengingat biasanya kepala negara akan memanggil kelima pimpinan KPK jika ada urusan terkait.

Pernyataan ini sontak memicu beragam respons. Presiden Jokowi, menanggapi pengakuan Agus, membantah keras tuduhan tersebut. Ia menyatakan tidak ada agenda pertemuan antara dirinya dengan Agus pada tahun 2017. "Enggak ada, coba cek lagi aja," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, pada 4 Desember 2023. Jokowi justru mempertanyakan motif Agus Rahardjo, seraya menegaskan bahwa ia justru mendukung proses hukum kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto hingga akhirnya divonis 15 tahun penjara.

Baca Juga:

Warisan yang Dipertanyakan: Demokrasi dan Antikorupsi

Di luar kontroversi wawancara tersebut, sejumlah kebijakan dan peristiwa selama masa pemerintahan Jokowi juga menjadi sorotan tajam. Janji antikorupsi yang digaungkan di awal masa jabatannya dinilai banyak pihak sebagai "pemanis pidato belaka." Revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019 dianggap sebagai pukulan telak yang melemahkan lembaga antirasuah. Hal ini diperkuat dengan anjloknya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2022 ke peringkat 110 dunia.

Selain itu, dugaan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi dalam meloloskan pencalonan Gibran Rakabuming Raka juga memicu kekhawatiran akan kemunduran demokrasi. Pembangunan megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN) pun tak luput dari kritik, terutama terkait isu penggusuran masyarakat adat di Kalimantan yang disebut tidak mendapatkan ganti rugi yang layak.

Sebagai bangsa yang dewasa, penting untuk melihat pemimpin tidak sebagai dewa, melainkan manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Mengakui keberhasilan pembangunan infrastruktur yang masif, namun di saat yang sama juga harus berani mengkritik dugaan pelemahan demokrasi dan antikorupsi. Kedewasaan berpikir ini adalah modal utama agar Indonesia tidak lagi terjebak dalam ilusi, melainkan bergerak maju menuju realitas yang lebih adil dan beradab.(**)

Editor
: Bantors Sihombing
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru