Di
Indonesia,Santet dipercaya sebagai salah satu perbuatan yang dapat
menimbulkan kerugian terhadap seseorang melalui ilmu ghaib. Lazimnya terjadi pada diri seseorang yang
menjadi korban santet,muncul luka sakit akibat adanya benda asing yang
terdapat didalam diri korban, tapi tidak dapat dijelaskan secara medis mengenai
asal usul benda asing tersebut.Bahkan,dalam kasus yang lebih
ekstrim,perbuatan santet selain dapat membuat orang menderita
berkepanjangan baik fisik maupun mental,dapat pula menyebabkan korbannya
meninggal dunia.Pelaku santet selama ini tidak dapat dijatuhi sanksi pidana.Selain
karena adanya asas legalitas,sebagaimana tercantum di dalam KUHP atau (Kitab Undang
Hukum Pidana) sendiri yaitu pada Pasal 1 Ayat 1 yang menerangkan bahwa “Tiada
suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.”
Proses
pembuktian santet di Pengadilan juga sulit dilakukan. Santet ini merupakan
dimensi yang abstrak, yang berada dalam ruang mistis atau spiritual tidak mampu
atau bahkan sulit untuk mendapatkan kebenaran materiil terhadap perbuatan
santet. Begitu pula alat-alat bukti yang digunakan didalam KUHAP Pasal 184
tidak ada yang mengatur mengenai bukti-bukti delik santet tersebut.
Seseorang
yang memiliki ilmu santet dapat dengan leluasa menawarkan jasa santet tanpa
rasa takut. Eksistensi Santetinilah, yang kemudian mendorong pemerintah untuk
memasukkan pasal kriminalisasi terkait santet dalam RKUHP sebagai Pembaharuan
Hukum Pidana, dan tentu dengan maksud untuk meminimalisir perbuatan santet.
Disamping itu juga untuk mencegah agar masyarakat tidak main hakim sendiri
terhadap seseorang yang dituduh sebagai pelaku santet. Sebab dalam beberapa
kasus di daerah, masyarakat kita terkadang melakukan perbuatan main hakim
sendiri terhadap seseorang yang dituduh sebagai pelaku santet. Tentu, hal ini
bagian dari upaya mengisi kekosongan hukum dan sebagai bentuk respon Negara
terhadap kondisi sosial masyarakat Indonesia yang sebagian masih meyakini dan
mempercayai hal-hal gaib.
Rumusan delik santet dalam RKUHP
merupakan delik formil, Perumusan delik formil mengandung arti apabila semua
unsur-unsur dari rumusan delik telah terpenuhi maka sudah dapat dikenakan
sanksi pidana tanpa melihat akibat dari perbuatannya. Delik santet tidak
merumuskan terkait pembuktian adanya kekuatan gaib karena itu berada pada
dimensi lain. Akan tetapi seseorang dengan sengaja menyampaikan,
menginformasikan dan menyanggupi permintaan orang untuk melakukan santet.
Proses pembuktiannya bukan berdasarkan santetnya namun lebih kepada penawaran
atau pengakuan bahwa bisa melakukan santet, jadi yang dibuktikan bukan
santetnya tapi hubungan antara tukang santet dengan orang yang menyewanya
sehingga hubungan itulah yang akan dilihat sebagai tindak pidana permufakatan
jahat. Apabila terbukti, maka orang itu dapat dikenakan sanksi pidana.
Berdasarkan
draft RKUHP yang disahkan menjadi UU KUHP terbaru, pasal itu tertuang dalam Bab
Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana, Pasal 252 ayat 1 dan 2 yang
menjelaskan bahwa “Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan
gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan
jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit,
kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak kategori IV dan apabila melakukan perbuatan tersebut untuk mencari
keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya
dapat ditambah 1/3 (satu pertiga).”
Maka,
ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah praktik main hakim sendiri yang
dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang menyatakan dirinya
mempunyai kekuatan gaib dan mampu melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan
penderitaan bagi orang lain. (*)