Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 11 Mei 2025

Dirgahayu 70 Tahun Kemandirian HKBP (10 Juli 1940-10 Juli 2016)

* Oleh Pdt Dr Darwin Lumbantobing
- Minggu, 10 Juli 2016 18:12 WIB
2.208 view
Dirgahayu 70 Tahun Kemandirian HKBP (10 Juli 1940-10 Juli 2016)
Hari ini, Minggu, 10 Juli 2016, kemandirian HKBP genap berusia 76 tahun. Dalam arti usia personal, kemandirian dipahami sebagai masa akil-balik. Dari masa kanak-kanak ke masa tingkat dewasa. Dalam arti tanggung-jawab, kemandirian adalah kematangan berpikir dan bertindak. Tanpa harus diasuh, tanpa harus diarahkan dan tanpa harus dibimbing. Artinya, seseorang dapat dan mampu berbuat dari dirinya sendiri. Dapat, mampu dan bertanggung-jawab atas semua tugas dan pelayanan yang diembankan kepadanya. Ia melakukan suatu pekerjaan atas inisiatif sendiri, didorong oleh kemauan dan motivasi dari diri sendiri dan berhasil dengan benar. Kekristenan seperti inilah yang diharapkan. Dalam bahasa rasul Paulus, dikatakan: "kekristenan makanan keras, bukan kekristenan susu" (1 Kor 3:2; Ibr 5:13-14). Kristen "susu" adalah Kristen kanak-kanak. Kristen "makanan keras" adalah Kristen yang dapat memilih, menolak dan menentukan pilihannya sesuai dengan imannya kepada Kristus.

Dalam arti institusional, seperti gereja HKBP, kemandirian - zelfstanding, manjujung baringinna, berarti dapat dan mampu mengatur diri sendiri, dapat dan mampu menjalankan tugas dan tanggung-jawab yang diembankan kepadanya sebagai gereja dan secara mandiri. Dapat mencapai tujuan, memberikan pengaruh kepada pihak lain di luar dirinya secara mandiri. Artinya, kemandirian itu adalah kemerdekaan, ketidak-terikatan dalam mencapai kedewasaan. HKBP telah mandiri menentukan identitas kepribadiannya. HKBP mandiri sebagai gereja, baik dalam arti "tubuh Kristus" - sebagai persekutuan orang-orang kudus, maupun sebagai gereja dalam arti  institusional atau kelembagaan.

Biasanya, kemandirian itu tidak datang sendiri. Tidak seperti durian yang jatuh sendiri setelah matang. Kemandirian sama dan persis seperti "kemerdekaan" dalam suatu Negara. Kemandirian bukan hadiah, bukan pemberian, melainkan adalah hasil perjuangan. Kemandirian dicapai dengan mengorbankan berbagai kepentingan pribadi, demi mencapai kepentingan bersama. Perjuangan kemandirian HKBP juga diperoleh dengan cara demikian.

Menjelang perang dunia ke dua, 1940, ketika Indonesia berada dalam jajahan kolonial Belanda, Negara-negara sekutu (Amerika, Inggris dan Belanda) berperang melawan Jerman. Hegemoni Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler disadari sangat berbahaya. Jerman kalah dalam perang itu. Akhirnya Jerman takluk kepada kekuasaan Negara sekutu. Ekses kekalahan Jerman itu berdampak kepada HKBP. Pada waktu itu pemimpin struktural dan pelayan misionar di HKBP dominan berada di tangan para misionar Jerman yang diutus RMG - Reinischen-missions Gesselschaft. Akibatnya, para misionar Jerman dibuang dan dipenjarakan. Ada yang dikirim ke di Negara-negara Asia yang berada di bawah kekuasaan sekutu, seperti India, China dan lain-lain. Tapi ada juga dipenjarakan di dalam negeri, seperti di "tangsi militer" Tarutung.

Pada waktu peristiwa itu, yang memimpin HKBP adalah Dr. Ernst Verwiebe (Ephorus 1936-1940), seorang berkebangsaan Jerman. Lalu ia ditangkap dan dipenjarakan di "tangsi militer" Tarutung. Sekalipun ada pertimbangan karena Dr. Verwiebe adalah Ephorus HKBP, namun semua misionar Jerman, termasuk Ephorus Dr. Verwiebe dibuang keluar negeri atau ditahan di "tangsi militer" Tarutung tidak dapat lagi melaksanakan tugas pelayanannya. Kepemimpinan HKBP dan pelayanan di semua jajaran (pelayanan ibadah dan organisasi) HKBP, bernar-benar kollaps, vakum dan tidak berjalan.

Untuk mengatasi keadaan itu, jabatan pelaksana tugas sementara keephorusan diserahkan kepada Ds. de Kleine, satu-satunya misionar barat, tetapi warga Negara Belanda. Dalam kondisi seperti itu, ada upaya nyata, yang menginginkan agar Ds. de Kleine dikukuhkan saja sebagai Ephorus defenitif secara langsung tanpa melalui Sinode Godang, menggantikan Dr. Verwiebe yang berhalangan tetap. Gagasan itu mendapat dukungan dari penguasa kolonial Belanda, pada waktu itu. Akan tetapi, para Pendeta Batak, pendeta pribumi yang dikenal sebagai pendeta kelas dua pada waktu itu, menolak dengan tegas. Momen itu justru dianggap sebagai saatnya HKBP mandiri. Atas dukungan dan semangat kemandirian HKBP dari kalangan jemaat, yang dipelopori para Pendeta Batak tersebut, diadakanlah Sinode Godang Istimewa HKBP. Sinode digelar pada tanggal 10-11 Juli 1940 di Seminari Sipoholon, Tarutung, dengan acara tunggal: pemilihan Ephorus HKBP.

Ada tiga calon Ephorus pada waktu itu, yaitu: Ds. de Kleine, Pdt. Kasianus Sirait dan Pdt. Justin Sihombing. Pemenangnya adalah Pdt. Kasianus Sirait. Akan tetapi istilah jabatan Ephorus dilarang dipakai karena berbau Jerman, lalu diganti dengan sebutan berbahasa Belanda, yaitu Voorzitter. Wewenang, posisi dan fungsinya sama dengan jabatan Ephorus. Inilah pertama sekali HKBP dipimpin oleh Pendeta Pribumi, Pendeta Batak. Peristiwa itu ditetapkan HKBP sebagai hari jadi kemandirian HKBP - HKBP Manjujung Baringginna.

Kini HKBP telah 76 tahun sebagai gereja yang mandiri - manjujung baringinna. Kemandirian itu tidak lagi diperhadapkan dengan hegemoni dan kekuasaan kolonial Belanda, tetapi akan diisi dengan bentuk kemandirian, kedewasaan dan tanggung jawab sebagai gereja Kristus di Indonesia. Ada 3 (tiga) muatan kemandirian gereja HKBP, zelfstanding, yang harus diisi, diemban, diupayakan dan dilaksanakan.

Pertama, kemandirian di bidang teologi. Artinya, HKBP harus mampu merumuskan pengakuan imannya, mempunyai formula teologinya, dogma atau ajarannya, agar Injil Kristus benar-benar berakar, bertumbuh, berkembang dan berbuah di dalam kehidupan orang Batak secara kontekstual. Kemandirian teologi ini sudah nyata dengan adanya Konfessi HKBP 1951, formula teologi dan dogma HKBP lainnya. Ini merupakan kebanggaan Kristen Batak masa kini. Kebanggaan ini harus dipertahankan dan dikembangkan sehingga menjadi kebanggaan bersama dalam menapaki dan mengisi kehadiran gereja yang esa di Indonesia.

Kedua, kemandirian di bidang daya. Artinya, HKBP harus mampu mempersiapkan dirinya sendiri, warga jemaatnya sendiri, untuk menjadi pemimpin dan pelayan gereja. Motivasi kemandirian ini sudah terwujud dengan berdirinya empat (4) lembaga pendidikan teologi milik HKBP, yaitu STT HKBP, Sekolah Tinggi Bibelvrouw, Sekolah Tinggi Diakones dan Sekolah Tinggi Guru Huria. Lembaga pendidikan teologi inilah yang mempersiapkan pelayan tahbisan Pendeta, Guru Huria, Bibelvrouw dan Diakones. Sedangkan para Evangelist dan Sintua dididik langsung oleh para pendeta HKBP. Tenaga dosen di Lembaga Pendidikan Teologi HKBP adalah para Pendeta dan Pelayan HKBP. Kalaupun ada tenaga dosen dari gereja luar negeri, atau ada yang belajar di luar lembaga pendidikan teologi milik HKBP, hal itu adalah karena adanya relasi oikumenis. Sebab, HKBP adalah bagian yang tidak terpisahkan dari gereja Kristus yang esa di Indonesia dan dunia ini.

Ketiga, kemandirian di bidang dana. Berdirinya HKBP dan bertebarnya jemaat-jemaat HKBP ke seantero kota dan pelosok nusantara dan luar negeri adalah atas niat, motivasi, keinginan dan tekad warga jemaat HKBP. Sampai saat sekarang ini, tidak ada jemaat HKBP yang didirikan atas prakarsa dan keinginan kantor Pusat HKBP. Kemana warga jemaat bermukim, bermigrasi, pindah dan berdomisili, di sana mereka berunding, bersepakat, berencana dan bertekad membangun jemaat lokal, baik di "bona pasogit" (daerah Tapanuli) maupun di daerah perantauan, dalam dan luar negeri. Ini merupakan kekuatan daya yang dimiliki HKBP yang sangat luar biasa. HKBP tidak pernah berdiri, lalu melakukan program pelayanannya berdasarkan bantuan dari pihak luar. HKBP telah mampu membiayai program pelayanannya sendiri secara mandiri. Oleh karena itu HKBP tidak pernah merasa rugi atau merasa tidak beruntung apabila tidak memanfaatkan bantuan dari siapa saja atau dan lembaga apa saja. Ini sesuai dengan kultur Batak: "metmet sihapor dijujung do uluna." Kemandirian bukan hanya jati diri HKBP, melainkan juga menjadi harga diri HKBP. Oleh karena itulah, Pdt. Dr. Justin Sihombing, pada sidang LWF di India, 1950, mengatakan dengan rendah hati: "HKBP is HKBP." "HKBP di HKBP!"  - Dirgayahu kemandirian HKBP! (Penulis: Ketua Rapat Pendeta HKBP/q)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru