Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 09 November 2025

Rasa Syukur yang Menghidupkan

Oleh: Johanes Libu Doni SS
Redaksi - Minggu, 14 September 2025 15:10 WIB
237 view
Rasa Syukur yang Menghidupkan
Foto Dok/Pribadi
Johanes Libu Doni SS
(harianSIB.com)


Pengalaman dikasihi oleh Tuhan Yesus adalah anugerah terindah bagi manusia. Kasih-Nya, yang rela mengorbankan diri bagi seluruh umat manusia, merupakan daya luar biasa untuk dapat mengasihi diri sendiri dan sesama secara total.

Daya yang dimaksud adalah kekuatan dan dorongan adikodrati untuk melakukan kehendak Tuhan secara terus-menerus tanpa lelah. Daya ilahi ini tidak dapat diproduksi oleh manusia, melainkan dianugerahkan secara istimewa kepada setiap orang yang dikehendaki-Nya. Mengapa demikian? Sebab, manusia memiliki kecenderungan alami untuk berbuat dosa dan menyimpang dari rencana Tuhan yang membahagiakan.

Kecenderungan ini sering kali merugikan manusia itu sendiri, hingga menyebabkan kekosongan jiwa. Oleh karena itu, daya ilahi yang telah dianugerahkan secara cuma-cuma haruslah dipelihara dan dikembangkan demi kesejahteraan bersama.

Undangan Menuju Kelegaan

"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." (Matius 11:28).

Melalui sabda-Nya, Yesus mengundang setiap manusia untuk datang kepada-Nya agar memperoleh kelegaan, yang merupakan sumber kebahagiaan sejati. Undangan ini bukanlah tanpa alasan. Yesus menyadari bahwa manusia tidak dapat menjalankan kehendak Tuhan tanpa rahmat dari Tuhan sendiri.

Manusia sering kali mencoba mencari jalannya sendiri, yang justru berakibat pada hilangnya arah dan kekosongan jiwa akibat dosa yang diperbuat. Tanpa datang kepada Yesus sebagai satu-satunya sumber kehidupan kekal, kesadaran manusia akan tetap rendah. Oleh karena itu, setiap insan diundang untuk datang kepada-Nya, memperoleh daya ilahi yang memampukan untuk hidup selaras dengan rencana Tuhan. Kerekatan pada Yesus akan melahirkan rasa syukur yang luar biasa, sehingga memampukan kita mengasihi diri sendiri dan sesama secara penuh.

Akar dari Rasa Syukur

Rasa syukur yang besar memiliki dampak luar biasa dalam menjalani kehidupan yang penuh rintangan. Rasa syukur akan senantiasa menjadi penghiburan untuk melaksanakan kehendak Tuhan, bahkan di tengah kesulitan hidup yang berat sekalipun.

Rasa syukur juga menolong manusia untuk berakar di dalam Yesus sebagai satu-satunya Juru Selamat dunia. Berakar artinya melaksanakan kehendak-Nya secara berkesinambungan, bukan karena paksaan, melainkan karena kasih-Nya telah mendarah daging. Kasih yang besar inilah yang menjadi sumber rasa syukur.

Tanpa kasih-Nya, kita tidak dapat mengucap syukur secara tulus. "Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita." (1 Yohanes 4:10). Surat Yohanes menegaskan bahwa manusia tidak dapat mengasihi secara sempurna jika tidak terlebih dahulu dikasihi oleh Allah.

Kasih Allah itu tanpa pamrih, sementara kasih manusia sering kali pamrih dan menuntut balasan. Artinya, mustahil bagi manusia untuk mengasihi sesamanya tanpa daya ilahi yang dianugerahkan Tuhan. Sebagai contoh, seseorang mungkin membagikan makanan kepada fakir miskin dengan harapan akan memperoleh rezeki lebih banyak. Pola pikir ini lahir dari perhitungan untung-rugi. Tolok ukur tindakan kasihnya adalah seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh.

Kasih seperti ini bukanlah yang diinginkan Tuhan Yesus. Kasih yang didasari pamrih hanya bersifat musiman dan tidak akan bertahan lama, terutama jika keuntungan yang diharapkan tidak kunjung datang.

Modal Utama Kehidupan

Kasih Allah yang dianugerahkan melalui wafat dan kebangkitan Yesus merupakan modal utama bagi kehidupan manusia yang kerap berlumur dosa dan terbelenggu oleh rasa bersalah, kecewa, dendam, serta penolakan. Kasih Yesus yang luar biasa ini mampu menghalau semua persoalan hidup, menghancurkan kekecewaan, dan mengarahkan manusia pada semangat serta sukacita surgawi.

Berkat kasih-Nya, manusia berkesempatan untuk menikmati janji kehidupan kekal. "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yohanes 3:16).

Kasih Allah yang permanen ini menjadikan manusia berakar dalam hati-Nya yang penuh belas kasih. Jika akarnya telah kuat, damai sejahtera yang diwariskan-Nya akan membanjiri jiwa dan pikiran. "Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu." (Yohanes 14:27).

Damai sejahtera inilah yang menjadi penggerak utama untuk bertahan di tengah berbagai rintangan, seperti intimidasi, diskriminasi, penolakan, hingga kekecewaan. Damai ini menjadi fondasi bagi manusia untuk hidup selaras dengan kehendak Tuhan. Tanpanya, manusia akan mudah terpuruk.

Namun, damai sejahtera yang Yesus berikan berbeda dari yang ditawarkan dunia. Justru, damai ini memampukan kita untuk tetap teguh meskipun dibenci dan ditolak. Situasi inilah yang menjadi kesempatan langka untuk bersaksi tentang kasih Yesus yang agung melalui perkataan dan perbuatan nyata.

Pintu Menuju Berkat

Rasa syukur atas kebaikan Tuhan adalah pintu masuk bagi berkat yang melimpah. Tanpa rasa syukur, manusia akan terjebak dalam kesombongan dan keegoisan yang menuntun pada kebinasaan. Rasa syukur menghidupkan jiwa dan pikiran untuk senantiasa berada dalam hadirat Tuhan.

Hadirat-Nya tidak pernah absen dalam hidup manusia, sebab belas kasih-Nya telah dianugerahkan sejak wafat-Nya di kayu salib. Namun, apakah manusia menyadari kehadiran-Nya? Jawabannya kembali kepada pribadi masing-masing.

Kehadiran Tuhan bukanlah mitos atau halusinasi, melainkan kenyataan yang membawa perubahan. Secara kasat mata, kita memang tidak dapat melihat-Nya. Namun, Tuhan Yesus senantiasa hadir dan membimbing melalui Roh Kudus yang telah dicurahkan ke dalam hati kita, seperti tertulis dalam Roma 5:5. Roh Kudus inilah yang berkarya untuk menuntun manusia menuju kesempurnaan. Tanpa kuasa Roh Kudus, manusia tidak dapat mencapai kekudusan; dan tanpa kekudusan, manusia tidak dapat berjumpa dengan Allah.

Membersihkan Sampah Dunia

Pertanyaan selanjutnya, sudahkah kita bersyukur atas segala karunia yang dianugerahkan? Jawabannya tentu bergantung pada pengalaman iman setiap individu. Pengalaman akan kebaikan Tuhan yang tak berkesudahan seharusnya membawa kita pada rasa syukur yang menghidupkan.

Rencana Agung Allah sangatlah jelas, "Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada." (Yohanes 14:3). Tuhan Yesus rindu agar setiap manusia bersatu dengan-Nya. Respons kita terhadap panggilan keselamatan ini haruslah diwujudkan melalui rasa syukur yang mendalam.

Namun, sering kali ada "sampah dunia" yang menghalangi kita untuk bersyukur. Sampah ini adalah beragam emosi negatif akibat luka batin yang belum terobati. Jika sampah ini tidak dibersihkan, manusia tidak akan merasakan kebahagiaan sejati. Oleh karenanya, rahmat pertobatan harus senantiasa dimohonkan agar kita diubah dari pribadi yang bersungut-sungut menjadi pribadi yang penuh syukur.

Persatuan dengan Allah Bapa akan memampukan seseorang untuk bersyukur atas limpahan kebaikan-Nya dan membebaskannya dari belenggu sampah dunia.

Langkah Pertama Menuju Kedamaian

Semua perjalanan harus dimulai dengan langkah pertama, yaitu ucapan syukur. Rasul Paulus berpesan, "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagimu." (1 Tesalonika 5:18).

Situasi hidup kita silih berganti; terkadang menyenangkan, terkadang membawa kehampaan. Itu lumrah. Sebagai contoh, bayangkan sebuah keluarga bahagia yang tiba-tiba kehilangan anak balita mereka karena kecelakaan. Tentu sang ibu dan ayah akan merasa hancur.

Namun, sikap hati orang beriman yang mengasihi Yesus akan berbeda. Ia akan tetap menemukan alasan untuk mengucap syukur, bahkan saat kehilangan orang yang dicintai. Ucapan syukur adalah obat mujarab yang membawa kita masuk dalam rangkulan kasih Bapa, yang sanggup menyembuhkan setiap luka hati.

Kesulitan dan rintangan hidup bukanlah akhir dari segalanya, melainkan kesempatan untuk merasakan kebaikan Tuhan yang luar biasa. Bahkan badai kehidupan dapat dipandang sebagai karya kasih Allah agar kita senantiasa berada di jalur yang ditetapkan-Nya, yakni keselamatan kekal.(Penulis adalah Penerjemah Ahli Muda pada Pusat Strategi Kebijakan Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung RI)

Editor
: Redaksi
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru