Medan (SIB)- Mantan Bendahara DPRD Kota Gunungsitoli FH, dituntut 4 tahun penjara. Dia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi pengadaan 35 unit mobil dinas untuk Pemko Gunung Sitoli tahun 2011-2012 sebesar Rp892,2 juta.
Tuntutan itu dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Gunung Sitoli, Firman Halawa di Pengadilan Tipikor Medan, Selasa (24/3).
Selain kurungan badan, JPU juga menuntut terdakwa membayar denda Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan. Tak hanya itu, JPU juga memerintahkan terdakwa membayar uang pengganti (UP) sebesar Rp525 juta. "Dengan ketentuan apabila tidak sanggup membayar maka harta bendanya disita untuk negara, bila tidak mencukupi maka dipenjara selama 6 bulan,"terang Jaksa Firman.
Terdakwa dinilai bersalah melanggar pasal 3 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelumnya, terdakwa didakwa bersama-sama dengan MIZ selaku Pejabat Pembuat Komitmen dan Direktur CV Prima Perkasa, RCFM, melakukan tindak pidana korupsi pengadaan 35 unit mobil dinas untuk Pemko Gunung Sitoli tahun 2011 sebesar Rp892,2 juta.
Pengadaan 35 unit mobil dinas yang diperuntukkan bagi anggota DPRD dan Pemko Gunung Sitoli dianggarkan dana sebesar Rp8,7 miliar. Setelah melalui proses lelang, CV Prima Perkasa ditetapkan sebagai pemenang lelang dengan tawaran Rp8,638 miliar.
Dalam dokumen penawaran yang diajukan, terdakwa melampirkan dokumen yang tidak benar seolah-olah dikeluarkan instansi resmi yakni jaminan penawaran dari Bank Sumut sebesar Rp172.856.320, sehingga terdakwa seharusnya tidak sebagai pemenang lelang.
Kemudian, melakukan pemesanan barang sebelum proses pelaksanaan evaluasi penawaran dan pengumuman pemenang lelang serta mendapatkan diskon pembelian sebesar Rp131.161.500.
Menurut jaksa, diskon pembelian kendaraan dinas tersebut merupakan hak negara. Kerugian negara dalam perkara ini berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sumut sebesar Rp892,2 juta.
Sementara, terdakwa MIZ dan RCFM, masih menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Medan.
Dugaan Korupsi Bencana Alam Palas
Fungsional Auditor BPKP Sumut Ahmad Latif mengatakan dalam kasus korupsi dana bencana alam di Padang Lawas (Palas) ada kerugian negara Rp200 juta.
Kerugian negara itu ditemukan pada pekerjaan 11 bronjong yang dikerjakan CV Gading Mas. "Kerugian negara itu ditemukan setelah kami tim auditor turun langsung ke lokasi proyek tersebut. Dimana kami menemukan adanya pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi kontrak," kata Ahmad, ketika dihadirkan sebagai saksi ahli di Pengadilan Tipikor Medan, Selasa (24/3).
Ahmad dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi ahli dalam kasus dugaan korupsi dana bencana alam Palas dengan terdakwa Aminuddin Harahap selaku Direktur CV Gading Mas. Dijelaskan Ahmad, spesifikasi yang tak sesuai kontrak itu, di antaranya kawat yang digunakan untuk pembuatan bronjong. Di dalam kontrak seharusnya menggunakan kawat kalnavis.
"Tetapi yang digunakan ternyata kawat biasa sekitar 85%. Sehingga langsung berkarat kawatnya," kata Ahmad.
JPU Polim Siregar kemudian bertanya soal asal anggaran proyek tersebut. "Itu kegiatannya dana dari-mana," tanya Polim.
Ahmad menjelaskan, proyek tersebut bersumber dari BNPB Pusat dengan pagu anggaran Rp6 miliar untuk 11 paket pekerjaan bronjong. Ahmad pun menjelaskan, dia bersama auditor lainnya selama seminggu melakukan audit di Palas untuk kasus itu.
Sementara Taufik Siregar, kuasa hukum terdakwa mempertanyakan soal metode perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan auditor, karena Taufik menemukan adanya ketidaksesuaian dengan hasil audit yang dikeluarkan oleh tim auditor.
Ahmad pun menjelaskan, metode perhitungan kerugian negara yang mereka lakukan dengan cara mendapatkan selisih realisasi pembayaran dengan pekerjaan setelah dipotong pajak.
"Setelah dipotong pajak ya? Jadi, pajak apa saja yang dipungut itu," tanya Taufik.
Menurut Ahmad ada dua pajak, yakni PPn dan PPh. Ada sekitar Rp20 juta lebih pajak yang dipotong untuk proyek ini.
Mendengar pernyataan saksi ini, Taufik Siregar pun menyatakan keberatan. Menurutnya, pajak yang sudah dipotong itu sudah lebih dari Rp20 juta, melainkan Rp87 juta.
"Kami keberatan soal pajak yang dipotong ini, majelis. Perlu dilihat dalam hasil audit poin 22 untuk CV Gading Mas, di sini tertulis bahwa PPn sudah dibayarkan Rp29 juta lebih dan PPh Rp5 juta lebih. Kemudian pada poin 29 PPn yang dibayarkan sebesar Rp49 juta lebih dan PPh Rp8 juta lebih. Jadi sudah ada sekitar Rp87 juta lebih yang dipotong, sangat jauh berbeda dengan penjelasan saksi ahli yang hanya sekitar Rp20 juta. Kami keberatan ini dalam hal audit potongan pajak ini," kata Taufik.
Taufik pun meminta pertimbangan kepada majelis hakim agar menghadirkan bendahara proyek tersebut di persidangan. Sebab, menurutnya, bendahara proyek ini punya semua catatan pajak yang sudah dibayarkan.
Hakim pun kemudian meminta agar pengacara terdakwa memasukkan keberatannya tersebut dalam pledoi nanti. Karena saksi ahli tetap pada keterangannya.
Di luar sidang, Taufik mengaku kecewa dengan keterangan ahli dari BPKP tersebut. Menurutnya, hasil audit potongan pajak yang dijelaskan saksi sebesar Rp20 juta itu tidak benar. Bahkan menurutnya, auditor sengaja hanya mencantumkan Rp20 juta itu saja biar kerugian negara dalam kasus ini terlihat lebih besar.
"Auditor sendiri pasti tahu ini, bahwa pajak yang dibayarkan itu sebesar Rp87 juta. Tetapi kenapa bukan itu yang digunakan sebagai acuan. Berarti supaya kelihatan kerugian negaranya besar. Padahal undang-undang sudah mengatur ini semua, tapi diatur sendiri lagi oleh auditor. Tapi biarlah hakim yang menilainya itu nanti," tandasnya
. (A18/i)