Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 13 Oktober 2025

Terkait Vaksin Palsu Beredar, Masyarakat Bisa Gugat Kemenkes dan BPOM

- Senin, 25 Juli 2016 16:38 WIB
321 view
Terkait Vaksin Palsu Beredar, Masyarakat Bisa Gugat Kemenkes dan BPOM
Medan (SIB)- Pernyataan Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan Kapolri untuk menyelidiki setiap pihak yang terlibat vaksin palsu sangatlah terlambat dilakukan, karena peredarannya telah terjadi dari 2003 (13 tahun yang lalu) sampai sekarang. Dalam kasus ini, masyarakat bisa menggugat pemerintah, Kementerian Kesehatan serta BPOM karena kelalaian dalam pengawasan peredaran vaksin palsu.

"Pelaku vaksin palsu ada, karena kelalaian dalam pengawasan dan masyarakat bisa menggugat pemerintah, Kemenkes dan BPOM. Kalau pemerintah, Kemenkes dan BPOM benar-benar mengawasi peredaran obat, makanan, kosmetik dan lainnya, para pelaku vaksin palsu itu tidak akan ada." kata Sekretaris IDI Sumut dr Khairani Sukatendel SpOG kepada wartawan di Medan, Selasa (19/7).

Dengan adanya pelaku peredaran vaksin palsu tersebut, Kementerian Kesehatan dinilai sudah membenturkan dokter dan rumah sakit kepada masyarakat. Dampaknya seperti sekarang ini yaitu hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap fasilitas kesehatan (Faskes) dan dokter," tegasnya.

Setelah terbongkarnya vaksin palsu, kata Khairani, dokter dan bidan menjadi khawatir untuk menyuntikkan vaksin kepada si anak. "Kita sudah menjadi takut. Oleh karena itu, kita minta pengakuan dari negara untuk mengakui peredaran vaksin palsu ini karena kelalaian mereka (negara) dalam pengawasan," cetusnya.

Kata Khairani, obat-obatan yang beredar di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sekitar 30 persennya di bawah standar. "Obat-obatan seperti obat malaria dan diabetes, menjadi beberapa macam obat yang dipalsukan. Selain itu juga ada jenis obat lain seperti obat untuk disfungsi ereksi, pain killer dan antibiotik juga seringkali dipalsukan," ujarnya.

Bila informasi peredaran tersebut tidak diawasi oleh negara, ia meyakini dokter dan rumah sakit yang akan disalahkan karena menyuntikkan ataupun memberikan obat palsu kepada pasien. "Kalau ini tidak diawasi oleh negara, sudah pasti dokter dan rumah sakit yang disalahkan karena menyuntikkan obat palsu kepada pasien. Kita tidak bisa membedakan karena bukan kita yang memproduksi obat," tegasnya.

Pihaknya meminta kepada para medis serta rumah sakit bila mengalami kelangkaan vaksin agar segera menyurati Kemenkes ataupun surati presiden untuk mempertanyakan kelangkaan vaksin. Jangan mencari vaksin sendiri. "Dokter dan rumah sakit sudah berniat baik mencari vaksin dari luar supaya universal imunisasinya semua dapat. Tapi ternyata, niat baik itu menjadi bumerang bagi Faskes dan dokter sendiri," kesalnya.

Dicurigai Diatur Secara Terstruktur
Sementara, Ketua Ikatan Dokter Indonesia IDI Cabang Medan dr Ramlan Sitompul SpTHT mengungkapkan, pemerintah harus bertanggung jawab atas terjadinya masalah vaksin palsu ini. Karena vaksin bagi anak menyangkut masa depan bangsa. "Bisa saja dicurigai memang ada yang mengatur secara terstruktur. Apalagi persoalan vaksin palsu ini bukan yang pertama kali terjadi dan penanganan sebelumnya tidak tuntas," sebutnya.

Ramlan mengaku, dokter tidak bisa membedakan mana vaksin yang asli maupun yang palsu. Karena dokter sifatnya hanya menggunakan saja. "Kita tidak pernah diajari membedakan vaksin asli atau palsu. Jadi pemerintah lah yang harus mengawasi," tegasnya.

Ramlan melanjutkan, bisnis vaksin ini memang sangat besar keuntungannya. Sebab, satu buah vaksin memiliki harga yang tergolong mahal. "Satu vaksin itu bisa berharga Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu. Ini sangat mahal, sehingga menjadi orientasi yang menguntungkan untuk memalsukannya. Selain itu perang saat ini trendnya tidak lagi dengan kekerasan, tetapi melalui obat-obatan seperti vaksin palsu ini," pungkasnya. (A18/q)
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru