Medan (SIB)
Warga pasti tak asing begitu mendengar Pajak Ular. Namun, jangan kecewa apabila tidak ada satupun koleksi ular yang dijual di pasar (pajak) ini. Lokasinya terletak di sepanjang Jalan Sutomo, tak jauh dari gerbang masuk Pusat Pasar Medan.
Bukan menjual aneka jenis ular, namun ada begitu banyak barang bekas ataupun barang antik. Mulai dari sepatu bekas, handphone bekas, jam tangan bekas, aneka kabel elektronik, batu cincin, aksesoris kuno, charger, hingga alat cek tensi juga ada di pasar tersebut.
Para pedagang cukup membutuhkan terpal biru yang dibentangkan di atas trotoar. Mereka tampak menunggu pembeli untuk mampir ke lapaknya. Sementara itu, beberapa pedagang lainnya tampak melayani pembeli.
Saat menghampiri lapak sederhana milik John, pedagang aneka barang bekas yang sudah berjualan sejak awal tahun 2000-an, tampak ia menjual beragam sepatu bekas berbagai merk dan barang elektronik.
"Udah 20 tahun lebih lah jualan disini, dari kecil. Awalnya ikut bapak pernah jualan di sini. Tapi sekarang buka sendiri," ungkap John kepada wertawan.
Dagangan John dijual mulai dari Rp 5000-an hingga puluhan ribu rupiah tergantung jenis barang yang dijual.
John kemudian mengenang masa-masa Pajak Ular ramai diburu oleh pembeli mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Bahkan, ia menyebut lapaknya tak henti didatangi pengunjung.
"Dulu beda kali lah sama sekarang. Kalau dulu ramai orang beli kalau sekarang ramai orang lewat saja alias sepi lah. Kalau sekarang paling orang dewasa aja yang beli, kalau anak muda udah jarang kali," kata John.
Lanjutnya, ia menyebutkan bahwa sekarang ini ia mampu mengumpulkan pendapatan sekitar Rp 2 jutaan per bulan, anjlok cukup jauh apabila dibandingkan awal-awal tahun 2000an yang mampu mencapai dua kali lipat.
"Kalau sekarang paling Rp 2 jutaan lah per bulan. Kalau dulu itu ramainya tiap hari, ramai ini jualan sampai mengular ke jalan-jalan, itu juga kenapa namanya Pajak Ular. Tapi sekarang paling akhir pekan aja ramainya," tuturnya.
Walaupun sudah mulai ditinggalkan, namun masih banyak juga pembeli yang setia untuk melihat aneka barang di Pajak Ular. Hal tersebut diceritakan Harry Suhardi, warga Medan yang sering berbelanja di pasar antik tersebut.
Sementara itu, Harry juga bercerita punya pengalaman cukup pahit di Pasar Ular lantaran pernah kena copet saat memilih barang.
"Kalau ke pasar ini mesti hati-hati juga jaga dompet sama tas lah, banyak juga copet di pajak itu kalau enggak hati-hati hilanglah. Saya dulu pernah hilang dompet pas belanja, untung masih ada uang sisa untuk bayar. Tapi memang pajak ini legend kali lah dulu," ucapnya.
BANYAK MAKNA
Sementara itu, sejarawan Sumut Budi Agustono mengungkapkan bahwa defenisi Pajak Ular memiliki banyak makna. Ia pun menyebut tidak ada kejelasan mengenai asal barang yang dijual di pasar tersebut.
"Ular tafsirnya kan banyak, bisa juga karena harga barang yang tidak pasti, bisa rendah dan tinggi dan barang juga tidak tahu datang atau dijual ke pasar ini dari mana asalnya disebut Pasar Ular," kata Budi.
"Ular juga bisa berarti berganti sisik, barang barang di sini terus berganti juga jenisnya, karena itu disebut ular," lanjutnya.
Sementara itu, Budi menyebutkan bahwa tren Pajak Ular ini sudah mulai ada sejak akhir tahun 1980-an dengan banyaknya masyarakat kalangan menengah bawah mencari barang langka dan murah.
"Trennya ini akhir tahun 1980an lokasinya berdekatan dengan pusat pasar, ini yang memancarkan efek banyak orang mencari barang langka dan murah di pasar ular. Pemburu barang bekas yang asal mulanya berasal entah dari mana berasal dari kalangan menengah bawah," ucap Budi.(detikcom)