Jika merujuk Surat Edaran Kementerian Kesehatan (SE Kemenkes) tanggal 16 Maret 2020, maka dapat disebut awal Gereja mengadakan ibadah dari rumah adalah Minggu 22 Maret 2020. Sejak itu, beberapa Gereja bervariasi dalam melayani umat-Nya dengan live streaming atau merekam acara kebaktian kemudian disiarkan pada hari Minggu.
Meski ibadah live streaming dapat diterima untuk situasi sekarang ini, namun ternyata model ibadah ini menimbulkan banyak pertanyaan teologis. Apakah ibadah dengan model daring berkenan kepada Allah? Jika Kitab Suci tidak secara harafiah memberikan ajaran untuk ibadah dengan berbagai model daring tersebut, mengapa Pemimpin Agama menganjurkannya? Apa yang harus umat pahami agar tetap menikmati ibadah dari rumah. Sebab banyak kalangan beranggapan ibadah di tempat ibadah jauh lebih khusyuk, jauh lebih nikmat daripada beribadah dari rumah.
Pertanyaan-pertanyaan ini masih diperkeruh dengan perdebatan di antara jemaat dan pemimpin agama perihal kudus tidaknya ibadah dari rumah dengan model daring.
Tulisan ini mencoba memberi pemaparan dari pertanyaan-pertanyaan di atas dari persfektif Kitab Suci, Alkitab. Meski ditinjau dan dijawab dari Alkitab, penulis menyakini nilai-nilai yang dipaparkan dapat dipetik maknanya bagi pemeluk agama lain sehingga kita mempunyai gerakan yang sama untuk memutus rantai penularan Covid-19 (SARS-CoV-2).
Ibadah Kepada Allah
Dalam Alkitab dikenal ibadah secara komunal (berjemaah) dan personal. Ibadah komunal telah dikenal sejak kitab Kejadian namun dilakukan dengan peserta lingkup keluarga atau suku. Abram misalnya beberapa kali mendirikan mezbah dalam perjalanannya bersama keluarga ketika merespon panggilan Allah Yahweh. (Kej. 12:8; 13:18) . Pada masa-masa itu tidak satupun ayat menuliskan bahwa mezbah-mezbah itu dikepalai oleh seorang imam (Rowlley, HH 2012, 16). Karena itu diduga kepala keluarga adalah imam dalam ibadah-ibadah yang diselenggarakan. Fakta ini menarik karena jadi model bagi ibadah dari rumah saat ini yang tengah diterapkan banyak gereja. Ibadah komunal ini semakin dipahami bentuknya setelah orang Israel menuju tanah Kanaan. Allah kemudian memberikan berbagai peraturan keimaman dalam Kitab Imamat dan Bilangan. Lalu diulang dalam kitab Ulangan secara khusus agar generasi yang baru lahir selama di padang gurun mengetahuinya.
Sedangkan Ibadah personal contoh bentuknya yakni; doa sebelum dan sesudah tidur, membaca Alkitab (saat teduh), berpuasa secara pribadi, atau dengan sengaja menyanyi di rumah dengan sukacita atas berkat Allah yang melimpah. Dalam Alkitab pola ibadah personal ditemukan misalnya kebiasaan Ezra. Tokoh Ezra adalah salah satu contoh dari kaum awam yang tekun dalam doa, pembacaan dan pendalaman Kitab Suci secara pribadi (Ezr. 7:10). Ketokohan serta kepiawaian Ezra memahami kitab Suci menjadi cikal bakal kelompok yang dikenal pada era Yesus yaitu kelompok ahli Taurat.
Contoh lain yang memberitahu tentang ibadah personal adalah Nyanyian Pemazmur. Daud menuliskannya demikian, "TUHAN, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu…" (Maz. 5:4) . Fakta ini menjadi dasar bahwa Allah menghendaki umatNya datang beribadah kepadaNya secara personal.
Dalam Alkitab, jalannya ibadah itu secara umum dipimpin oleh imam. Contoh untuk ini, PB tampaknya masih meneruskan tradisi Perjanjian Lama, dimana sinagoge menerapkan penjadwalan terhadap pemimpin ibadah. Yesus memakai kebiasaan imam yang turun dari sinagoge setelah "jadwal pelayanan" (Luk. 10:31), sebagai bagian kisah perumpamaan Orang Samaria yang baik hati. Ini berarti Imam masih memimpin berbagai ibadah di sinagoge sebagai Bait Suci di Yerusalem (Kistemaker 2003, 180-191).
Dari data singkat tersebut dapat dipahami bahwa umumnya ibadah dalam kekristenan dijalankan dengan tata ibadah (bernyanyi, membaca mazmur, doa, khotbah) tertentu dan dipimpin oleh imam (pemimpin ibadah). Namun kitab Amos menyiratkan fakta pada masa perjalanan Israel menuju Kanaan ada ibadah-ibadah yang pelaksanaannya tidak seperti peribadahan secara umum yaitu dengan korban persembahan.
Dari kisah pasca kenaikan Yesus, ibadah di rumah-rumah adalah bagian dari bentuk ibadah yang diadakan dalam situasi tidak lazim. Ibadah di rumah dengan rasa ketakutan luar biasa terhadap penguasa, Kaisar yang lalim, sehingga ibadah tanpa lagu yang nyaring, kebaktian dengan rasa curiga sesama umat di tempat tertentu.
Dengan fakta di atas maka pertama, ibadah secara personal dan komunal menurut catatan Alkitab adalah dua ibadah yang dikehendaki Allah. Jika diadakan secara personal maka keberadaan imamat ada pada diri yang bersangkutan. Demikian pula pada ibadah secara komunal kepala keluarga boleh menjadi imam di dalamnya. Kedua, untuk situasi yang tidak lazim, di luar kendali manusia, maka ibadah boleh saja diadakan inovatif. Misalnya tanpa imam yang ditugaskan/ditahbiskan atau tidak mengikuti tata ibadah secara komplit. Meski tata ibadah tidak sekomplit di rumah ibadah/gereja, bukan berarti mengurangi nilai kekudusan dari ibadah itu. Jadi ibadah dari rumah dengan mengikuti live streaming adalah salah satu bentuk yang dimaksud dengan inovasi. Sebab, Roh Kudus datang kepada umatNya (dan menghadiri ibadah) bukan terletak kepada persiapan-persiapan para pelayan dan prasarananya. Seturut Konfesi Gereja Lutheran (Tappert 2016, 39), Roh Kudus datang kepada umatNya melalui "firman Injil yang nyata".
Pengajaran Kepada Umat
Sesuai situasi kondisi saat ini dan arahan pemerintah disusul maklumat Kapolri (Nomor Mak/2/III/2020), menuntut inovasi dari gereja untuk menghindari kerumunan orang dalam satu ruangan. Sebab menjaga jarak sosial (social distancing) dan jarak fisik (physical distancing) jadi tantangan (bisa juga hambatan) tersendiri dalam menyelenggarakan ibadah. Tentu arahan pemerintah tersebut demi kesehatan umat dan memutus wabah Covid-19.
Namun karena umat telah puluhan tahun memahami dan menikmati ibadah dalam satu gedung secara bersama-sama (berjemaah), maka ada perbedaan rasa dan kesan setelah Gereja memberlakukan ibadah dari rumah. Ibadah dengan live streaming bukanlah ibadah yang menjadi impian Gereja untuk menggantikan ibadah bersama-sama di satu gedung. Sebab persekutuan kristiani itu muncul dalam bentuk berkumpulnya orang banyak ("dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku," Mat. 18:20) pada satu kegiatan melalui tata ibadah. Satu sama lain merasakan kedekatan spiritual di dalam Kristus. Perbedaan memudar dalam kedekatan yang ditimbulkan oleh persekutuan dalam Yesus di gedung Gereja.
Ada dua pokok yang harus dipaparkan kepada umat agar menikmati kekudusan dan kekhusyukkan ibadah dari rumah. Pertama, ibadah dari rumah adalah alat bagi Allah untuk umatnya tetap menikmati hadirat Allah dalam persekutuan yang lebih kecil yaitu keluarga. Pada ibadah bentuk ini, justru hubungan erat antar keluarga kian dipupuk, sehingga lebih kuat dan segar. Aspek koinonia dalam ibadah dari rumah tidak hilang. Sebab tiap rumah/keluarga masih dalam kegiatan yang sama yakni: membaca warta, menyerahkan persembahan, lagu-lagu, mendengarkan nats khotbah, meski di rumah yang berbeda.
Kedua, masing-masing kepala rumah tangga (termasuk ibu) , mempersiapkan diri dengan tugas sebagai pemimpin ibadah secara bergantian. Tidak hanya di situ, tetapi perlu memberi pemahaman kepada seisi rumah sejak Sabtu sehari sebelum kebaktian dan sesaat setelah kebaktian dari rumah bahwa ibadah dari rumah tidak kalah kekudusannya dengan ibadah di Gereja. Bukankah Ulangan 6:7 juga memberikan prinsip, "mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu" dapat diterapkan untuk segmen ini? Jika di Gereja sebagian besar umat adalah peserta yang mengikuti tata ibadah dan arahan imam (paragenda, liturgis, penyembah, pemuji dlsb) , maka ibadah dari rumah sebaliknya. Anggota jemaat mengambil peran mengatur ibadah, mengawasi peserta ibadah dan ada rasa tanggung-jawab agar ibadah terselenggara dengan khusyuk dan lancar. Karena ibadah live streaming bukanlah kebaktian yang hendak ditonton, namun kebaktian yang hendak diikuti dari berbagai rumah, dengan hati yang tertuju kepada Allah dan tata ibadah yang sama.
Semoga tulisan ini memberi daya semangat kepada semua pembaca SIB di manapun berada, dari berbagai pemeluk agama. Ibadah dari rumah bukanlah hukuman kepada kita sehingga kehilangan feel good saat bertemu Allah. Karena Allah hadir dalam Firman yang diberitakan di ibadah di manapun. Untuk menjalin kedekatan/bonding, Gubsu (SIB. , 2020, 25/4/2020) menandaskan bahwa silahturahmi kepada semua orang dapat terus diupayakan melalui teknologi. Dengan bekerja sama, kita mampu mengatasi Covid-19. Tentu kita terus berdoa agar virus ini cepat berlalu dan rantai penularannya terputus dari antara umat ciptaan yang dikasihiNya. (d)