Suatu ketika Ali bin Abi Thalib menerima surat dari seorang panglimanya yang bernama Ma'qil bin Qais Ar-Riyahi yang ditugaskan memerangi Khirit bin Rasyid.
Beliau lantas mengumpulkan sahabatnya untuk kemudian dibacakan di hadapan mereka isi surat. Setelah itu beliau minta saran dan pendapat mereka sebelum menarik sebuah kesimpulan.
Disebutkan sebuah perkataan khalifah Ali terkait urgensi musyawarah. Beliau menyatakan, "Musyawarah adalah inti hadirnya hidayah. Sungguh, sangat berbahaya bagi orang yang telah merasa cukup dengan pendapatnya sendiri." Khalifah Ali jua pernah berkata, "Sebaik-baik jalan mencari pertolongan adalah musyawarah. Dan seburuk-buruk persiapan adalah bertindak semena-mena (yakni memaksakan kehendak sendiri)."
Dalam al-Quran, Allah Swt berfirman, "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka." (Qs Asy-Syura :38)
Dari ayat tersebut terdapat informasi bahwa ciri orang yang berbakti ialah menyambut seruan Allah dalam kitab-Nya dengan beriman dan memurnikan ibadah hanya pada-Nya, menunaikan sholat lima waktu dengan tepat waktu, dengan sempurna sesuai yang disyariatkan.
Juga saling bermusyawarah mengenai urusan mereka tanpa mempermalukan anggota syuro' lain yakni saudara-saudaranya yang beriman. Mereka menjalin hubungan dengan Allah melalui sholat dan menjalin hubungan dengan kaum Muslimin dengan musyawarah dan nasihat. Mereka menyedekahkan apa yang Allah karuniakan bagi mereka, baik berupa ilmu, harta, kemuliaan dan sebagainya.
Oleh karena itu, Musyawarah ialah hal yang menghiasi kehidupan kaum muslim untuk memutuskan satu keputusan bersama. Keputusan Syuro' adalah keputusan yang membawa keberkahan. Imam al-Qurthubi mengatakan, "Syuro adalah keberkahan". Dengan Syuro, petunjuk Allah akan datang. Imam Hasan mengatakan "Setiap kaum yang bermusyawarah, niscaya akan dibimbing sehingga mampu melaksanakan keputusan yang terbaik dalam permasalahan mereka" Sedang Imam Hasan al-Bashri mengatakan, "Tidaklah sebuah kaum bermusyawarah di antara mereka kecuali Allah akan tunjuki mereka kepada yang paling utama dari yang mereka ketahui saat itu."
Kembali dari kisah di atas, dari dua perkataan Khalifah Ali bin Abi Thalib, setidaknya ada beberapa poin yang dapat ditarik, Pertama, musyawarah merupakan inti hidayah. Maksudnya petunjuk kepada keputusan yang tepat dan benar atau yang mendekati keduanya, hanya dapat diraih melalui proses musyawarah. Sebab musyawarah menampung banyak pandangan.
Kedua, tercelanya orang yang terlalu percaya kesanggupan dirinya hingga mengabaikan musyawarah. Kesalahan maupun efek dari sebuah proses musyawarah jauh lebih ringan ketimbang keputusan pribadi tanpa melibatkan orang lain. Ketiga, musyawarah merupakan jalan paling ideal untuk mencari keputusan hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya.
Keempat, memaksakan pendapat atas kehendak tanpa melirik masukan dan saran pihak lain termasuk bagian dari tindakan semena-mena yang tidak diridhai Allah dan tidak bakal menghasilkan sebuah hasil yang diharapkan. Begitulah manfaat musyawarah dalam kehidupan kaum muslimin.
Sedangkan hal yang perlu dimusyawarahkan ialah hal-hal belum ada ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya dan juga urusan keduniaan yang dapat dicapai dengan ide-ide yang brilian via syuro'. Apalagi dalam menangani masalah kaum muslimin, seorang pemimpin hendaknya bermusyawarah dalam membuat keputusan.
Imam Asy-Syafi'i mengatakan: "Seorang hakim/pemimpin diperintahkan untuk bermusyawarah karena seorang penasehat akan mengingatkan dalil-dalil yang dia lalaikan dan menunjuki dalil-dalil yang tidak dia ingat, bukan untuk bertaqlid kepada penasehat tersebut pada apa yang dia katakan. Karena sesungguhnya Allah tidak menjadikan kedudukan yang demikian (diikuti dalam segala hal) itu bagi siapapun setelah Nabi".
Iman bukan hanya masalah pribadi dengan Allah, akan tetapi mengajak seorang muslim untuk bersama memikirkan kepentingan ummat. Itu terlihat dari adanya sholat berjamaah setiap hari maupun sholat Jum'at tiap minggu dan seterusnya.
Namun, Begitupun tetap saja point pentingnya bahwa orang-orang yang ikut dalam musyawarah, mestilah orang yang juga kuat agamanya. Kala tawanan Badar berada dalam kekuasaan kaum muslimin, Rasulullah mengajak bermusyawarah Abu Bakar dan Umar . Begitu juga Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabat lain.
Kriteria-kriteria orang yang bermajelis syuro' pernah diungkapkan Imam Asy-Syafi'i. Beliau mengatakan: "Janganlah dia bermusyawarah jika terjadi suatu masalah kecuali dengan orang yang amanah, berilmu dengan Al Qur'an dan As Sunnah dan riwayat-riwayat dari shahabat dan setelahnya, serta berilmu tentang pendapat-pendapat para ulama, qiyas, dan bahasa Arab. "
Begitujuga Sufyan Ats-Tsauri pernah mengatakan: "Hendaknya ahli syuramu adalah orang-orang yang bertakwa dan amanah serta orang-orang yang takut kepada Allah." Imam Al-Qurthubi mengatakan: "Para ulama berkata: 'Kriteria orang yang diajak musyawarah jika dalam perkara hukum hendaknya seorang ulama dan agamis. Dan jarang yang seperti itu kecuali orang-orang yang berakal. Oleh karenanya Al-Hasan mengatakan: 'Tidaklah akan sempurna agama seseorang kecuali setelah orang yang bertakwa dan amanah serta orang yang takut kepada Allah. "
Penutup
Islam tidak hanya mengatur urusan pribadi tapi juga sosial. Untuk mengatur urusan publik, Islam mengenal istilah musyawaarah. Keputusan syuro adalah keputusan yang paling mendekati kebenaran dan keberkahan. Namun, peserta syuro juga bukan orang sembarangan. Anggota majelis syura harus punya ilmu dan spiritualitas tinggi. Wallahua'lam.
(Penulis adalah Humas Jaringan Pemuda Remaja Masjid Indonesia Kota Medan/l)