Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 24 Juni 2025

Kepemimpinan dan Pemimpin Dalam Gereja Batak

Oleh Richard Daulay (Dosen UPH Jakarta, Sekum PGI 2004-2009
- Minggu, 04 Agustus 2019 09:59 WIB
2.621 view
Kepemimpinan dan Pemimpin Dalam Gereja Batak
Richard Daulay
Mengapa setiap pergantian kepemimpinan dalam gereja-gereja Batak (HKBP, GKPI, HKI, GMI, GPKB dan yang lainnya) selalu terjadi ketegangan bahkan perpecahan? Mengapa gereja-gereja kharismatik dan gereja-gereja kontemporer sangat diminati oleh orang Batak, terutama generasi mudanya? Bagaimana jalan keluar untuk meminimalkan (baca: mengatasi) agar masalah pergantian kepemimpinan tidak menimbulkan konflik dan perpecahan dalam gereja-gereja Batak, dan agar gereja Batak tetap kokoh dan berperan di tengah bangsa sebagai garam dan terang? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang didiskusikan dengan hangat oleh sekitar 200 orang tokoh (pendeta dan warga) gereja Batak pada acara seminar tentang "Masa Depan Gereja Batak", yang diselenggarakan Gereja Punguan Kristen Batak (GPKB) Pulomas, Jakarta, bersama Lutheran Heritage Foundation (LHF) Indonesia, Sabtu 15 Juni 2019.

1. MENGAPA JABATAN DIPEREBUTKAN DI GEREJA BATAK?
Barangkali di Indonesia, bahkan mungkin di dunia, gereja-gereja Batak lah yang paling bising setiap terjadi pergantian kepemimpinan, seperti pemilihan Ephorus dan Bishop. Di gereja-gereja di wilayah lain (Jawa dan Indonesia Timur), tidaklah seheboh seperti di Sumatera Utara.Mengapa?Mari kita coba lacak akar-akarnya.Sejauh yang saya alami sendiri di PGI, setiap terjadi pergantian kepemimpinan, biasanya berjalan secara normal tanpa ada persaingan yang menimbulkan konflik atau perpecahan.

Jabatan bagi orang Batak memang memiliki nilai budaya yang sangat tinggi, sesuai dengan falsafah hidup orang Batak yang sangat gigih memerjuangkan nilai budaya Batak: Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon. Inti dari ketiga nilai ini sebenarnya adalah "power" (kuasa). Masalahnya dalam jabatan pimpinan di gereja-gereja Batak itu melekat kuasa yang besar, sehingga jabatan itu menjadi sesuatu yang sangat menggiurkan untuk direbut, melalui mekanisme pemilihan. Di manakah letaknya kuasa itu dalam gereja-gereja Batak? Saya melihat bahwa kuasa seorang Ephorus atau Bishop terletak pada hak dan wewenang untuk menentukan penempatan (appointment) para pendeta di jemaat-jemaat dan atau lembaga-lembaga gereja. Dalam sistem organisasi gereja ada dua jenis proses penempatan, yang dikenal dengan istilah "sending pastors" dan "calling pastors".

Gereja yang menganut sending pastors ialah gereja yang memberikan hak dan wewenang kepada pemimpinnya (Ephorus, Bishop, Kabinet, Majelis Pusat) untuk menempatkan pendeta ke jemaat-jemaat, tanpa meminta pertimbangan dari jemaat si penerima dan pendeta yang bersangkutan. Praktik penempatan seperti ini hingga sekarang masih diberlakukan di gereja-gereja HKBP, GMI, GKPI, HKI dan lain-lain. Khusus di GMI, sistem sending pastors seperti itu masih diberlakukan untuk jemaat-jemaat dan pendeta berlatar belakang Batak, sedangkan untuk jemaat-jemaat dan pendeta berlatar belakang Tionghoa sudah harus berdiskusi dengan jemaat melalui Majelis Jemaat yang bersangkutan.

Sedangkan gereja yang menganut sistem "calling pastors" ialah gereja yang memberikan wewenang kepada jemaat untuk "merekrut" (memanggil) pendeta yang akan betugas di jemaatnya. Pimpinan gereja atau Ketua Sinode hampir tidak ada hak dan kuasa untuk menempatkan pendeta.Gereja-gereja GKI, GKJ, GKP dan lain-lain menganut sistem calling pastor ini.Di banyak gereja Protestan di luar negeri juga menganut sistem calling pastor ini, seperti Evangelische Kirche in Deutschland (EKD) di Jerman.Banyak juga gereja yang mengawinkan (mengombinasikan) kedua sistem tadi dengan melibatkan Ketua Sinode (Ephorus, Bishop), jemaat yang bersangkutan dan pendeta yang bersangkutan dalam proses penempatan.

Andaikata di gereja-gereja Batak, kuasa (power) untuk menempatkan pendeta dimodifikasi, dengan cara mengubah "sending pastors" menjadi "calling pastors" atau paling sedikit kombinasi kedua sistem, saya yakin bahwa perebutan jabatan Ephorus, Bishop, Ketua Sinode tidak akan setegang seperti sekarang. Sebagai contoh, di Gereja Methodist Korea, yang tadinya mewarisi sistem "sending pastors" dari tradisi Gereja Methodist Amerika, sejak tahun 1978 diubah menjadi sistem "calling pastor". Sejak itulah gereja itu mengalami pertumbuhan yang spektakuler hingga saat ini. Kebiasaan lama seperti "para pendeta anteri di depan rumah Bishop" untuk meminta penempatan di tempat "basah" dengan macam-macam "gratifikasi" dihapuskan sama sekali.

Di Gereja-gereja Methodist di luar Negeri (USA, Singapura, Malaysia), sistem "sending pastor" sebagai tradisi lama, sudah dimodifikasi dengan mendengarkan aspirasi jemaat dan pendeta, sebelum Bishop memutuskan penempatan pendeta. Di dalam Buku Disiplin (Tata Gereja) sudah dibentuk satu komisi di struktur kemajelisan jemaat yang disebut "Pastor-Parish Relation Committee" (PPRC).Yang pasti tidak ada sistem organisasi yang bersifat "abadi", tetapi setiap periode perlu di evaluasi. Karena ungkapan ini benara: "A bad system can destroy good people" (Gary Mottershead).

2. MENGAPA BANYAK ORANG BATAK "HIJRAH" KE GEREJA KHARISMATIK
Sebagai seorang pendeta yang sering diundang berkotbah di beberapa gereja beraliran kharismatik, seperti Gereja Bethel Indonesia (Medan dan Jakarta), saya menemukan bahwa mayoritas umat yang berkebaktian di gereja-gereja kharismatik itu kebanyakan adalah orang-orang Batak (Toba, Karo, Simalungun dll). Di GBI Medan Plaza, misalnya, setiap hari Minggu diadakan lima gelombang kebaktian dengan jumlah umat yang hadir rata-rata 10.000 orang (hanya di satu jemaat), maka 80-90 persen umat adalah orang Batak, dan kebanyakan adalah orang-orang muda, di bawah 30 tahun. Apakah mereka sudah terdaftar sebagai anggota menetap di Gereja GBI itu?Sebagian besar ternyata tidak.Mereka hanya tertarik mengikuti kebaktian di GBI itu ketimbang di gereja asalnya.Mengapa?

Menurut teori pertumbuhan gereja, pada era "post-denominationalism" sekarang ini, ada beberapa faktor yang merupakan daya tarik sebuah gereja terutama di perkotaan.Pertama, faktor lokasi gereja.Umat lebih tertarik menghadiri kebaktian apabila lokasi gereja itu strategis, dan memiliki lahan parkir yang aman.Kedua, faktor ruangan kebaktian yang nyaman juga sangat menentukan umat untuk memilih tempat beribadah setiap minggu.Ketiga, faktor "hospitality" (keramah-tamahan) gereja itu. Umat akan merasa nyaman dan tertarik berkebaktian secara rutin jika merasakan bahwa dalam gereja itu dia disambut dengan hangat, mulai dari pintu gereja sampai ke tempat duduk. Keempat, faktor ibadah menyangkut lagu-lagu, musik, song leaders dan pemimpin ibadah yang mampu menciptakan suasana yang sangat menyentuh kerohanian umat. Kelima, faktor kotbah yang berbobot, yang membangunkan kerohanian umat yang hadir itu.Dari kelima faktor tersebut, faktor ibadah dan kotbah sangat menentukan.

Benar apa yang disinyalir dalam TOR seminar ini, yang mengatakan: "Sementara itu banyak yang merasa dan menilai bahwa gereja Batak kini dalam keadaan "stagnan", membosankan, kurang inovatif, kurang kreatif, dan kurang proaktif dalam pelayanan...". Sebenarnya, di awal abad 21, yang dikenal dengan "era disruptif" (disruption era), bukan hanya gereja Batak yang mengalami stagnasi. Hampir semua gereja arus utama (mainline church) di seluruh dunia mengidap persoalan yang sama, di mana anggotanya semakin menurun, generasi muda gereja lambat laun semakin sedikit karena merasa tidak cocok dengan gereja tradisional.

Di Amerika, Gereja-gereja Lutheran, Prebyterian, Methodist, Anglikan, Baptis (termasuk Southern Baptist Convention, gereja Protestan terbesar) sedang mengalami penurunan anggota secara signifikan. Gereja-gereja Kharismatik, Pentakosta, gereja-gereja non-denominasional justru bertumbuh pesat. Hampir 55% umat Kristen Protestan di Amerika adalah gereja-gereja Injili. Yang lebih parah lagi adalah situasi kekristenan di Eropa sekarang, di mana banyak gereja lokal (jemaat) yang terpaksa ditutup, bahkan dijual dan beralih menjadi museum, masdjid, apartemen dst.

Agaknya benar juga pernyataan dan tantangan yang dilontarkan seorang mantan Ephorus HKBP, pada Oktober 2017 yang lalu, dalam sebuah seminar memeringati 500 tahun Reformasi bertempat di HKBP Kebayoran Baru, yang isinya kira-kira sebagai berikut : "Saudara-saudara para pendeta HKBP, jangan merasa bangga dulu apabila anda melihat bahwa setiap kebaktian hari Minggu gereja anda penuh. Itu baru sekitar 30% dari umat anda!"Memang, salah satu kelemahan gereja besar adalah, kendati anggotanya sudah banyak yang "hilang" dan pindah ke gereja lain, dia tetap merasa bahwa gerejanya tetap merupakan gereja besar (HKBP nabolon i; The Great United Methodist Church).

3. BAGAIMANA JALAN KELUARNYA?
Apa yang harus dilakukan untuk menjadikan gereja Batak tetap besar, eksis dan berperan di tengah bangsa. Secara garis besar, di bawah ini saya mengangkat beberapa saran yang dapat dipertimbangkan ke depan. Pertama, gereja-gereja Batak sudah harus melakukan "reformasi" dan "restrukturisasi" di bidang kelembagaan dan organisasi secara komprehensif, sehingga faktor "power" (kuasa) yang melekat pada jabatan struktural harus dieliminasi, minimal direduksi. Karena yang namanya kuasa (power), baik dalam Negara maupun dalam gereja, hukumnya sama saja yakni, seperti yang dikatakan Lord Acton: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely". Untuk mengurangi penyalahgunaan kekuasaan raja-raja, pangeran-pangeran di zaman monarkhi di Inggris (Eropa) dahulu, maka para filsuf menciptakan sistem pemerintahan di mana terdapat mekanisme "checks and balances". Salah satunya yang paling penting adalah lahirnya Trias Politika oleh Montesquieu.

Sejauh mana gereja-gereja kita menyadari dan mengakui akan adanya praktik penyalahgunaan power itu di dalam tubuh gereja hari ini? Sejauh mana gereja-gereja terbuka matanya, bahwa sekarang ini praktik-praktik dalam politik praktis yang ada di Negara, seperti kampanye, tim sukses dan "money politik" sudah masuk dalam gereja? Padahal Roma 12: 2 berkata, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini…".Kedua, belakangan ini semakin banyak tokoh-tokoh gereja yang mengusulkan agar cara pemilihan pemimpin gereja (Ephorus, Sekjen, Bishop) dilakukan dengan cara "buang undi" (manjomput nasinurat).Gereja HKI ternyata sudah mempraktikkan cara ini dalam sinodenya yang baru lalu.

Setelah saya berdiskusi (via telepon) dengan beberapa petinggi HKI, maka ditemukanlah beberapa dampak baik dan buruknya sistem itu. Hal yang positif dari sistem undi itu antara lain: tidak terjadi blok-blokan; tidak tahu siapa memilih siapa, tim sukses dan kampanye hilang, tidak ada lagi "janji-janji sorga", peserta sinode lebih banyak berdoa ketimbang berkampanye. Sisi buruknya menurut pengalaman HKI antara lain: muncul rasa sombong rohani, karena merasa dipilih Tuhan; umat cenderung mengharapkan terlalu banyak dari pemenang, ternyata kinerjanya biasa-biasa saja sehingga umat merasa kecewa. Menurut saya, jika wewenang (power) dari sang pemimpin (Ephorus atau Bishop) tetap besar, maka dengan cara voting atau undi, bedanya tidak terlalu signifikan.

Ketiga, bagaimana gereja-gereja Batak menyikapi maraknya Gereja-gereja kharismatik belakangan ini?Menurut saya Gereja-gereja Batak, selain melakukan reformasi kelembagaan dan kesisteman dalam tata kelola organisasi, juga harus terbuka untuk melakukan inovasi dalam tata-ibadah dan kualitas pemberitaan Firman.Bagi orang Batak, kotbah sangat menentukan. Jika ditanya orang Batak apa tujuannya pergi ke gereja, maka jawabnya adalah: untuk mendengar Firman Tuhan (manangihon hata ni Debata). (c)

SHARE:
komentar
beritaTerbaru