Oleh: Sampe Purba
Sejak Bapak Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia, ada satu kebiasaan simbolis yang baik dalam berbusana yang beliau lakukan, terapkan dan tularkan dalam acara acara kenegaraan seperti dalam kunjungan kerja ke daerah, Sidang Tahunan DPR, termasuk dalam memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu pengenaan dan penggalakan pakaian daerah. Bapak Presiden dan Ibu Iriana Jokowi selalu menggunakan pakaian daerah Nusantara yang berbagai ragam dalam paduan elegan harmonis. Promosi penggalakan pakaian daerah tersebut mengingatkan kita pada dua hal, yaitu bahwa Indonesia adalah Negara yang kaya dengan aneka budaya, termasuk dalam berbusana adat daerah. Yang kedua, pakaian-pakaian daerah tersebut memiliki kedudukan dan martabat sejajar, yang tidak dikaitkan dengan seberapa banyak suku pengguna busana itu di Indonesia.
Lihatlah Pesta Perayaan Kemerdekaan Indonesia kemarin di halaman Istana Negara. Semua peserta upacara larut dalam kemeriahan pesta rakyat itu dengan balutan busana yang meriah. Apalagi di puncak acara, penyanyi cilik jalanan yang kondang dengan kualitas suara alami Farel Prayoga membawakan lagu pop jawa Ojo dibandingke…. yang dimodifikasi cerdas pada bagian akhir referen lagu …. Di hati ini hanya ada Pak Jokowi. Seluruh peserta upacara spontan riuh dalam kegembiraan. Ibu Presiden, Bapak Presiden, Panglima Angkatan, Para Menteri hingga semua lapisan masyarakat bergoyang, berdendang gembira. Tidak ada jaim-jaiman. Dan itu …bagian rangkaian dari acara. Tidak merupakan bagian hiburan/ penutup setelah upacara kenegaraan.
Ini sangat luar biasa. Cerdas. Presiden ingin menyampaikan pesan, bahwa upacara kenegaraan tidak berada di ruang menara gading yang terlepas dan tersekat dari nafas geliat rakyat. Negara hadir untuk rakyat. Bukan sebaliknya. Ini sebuah legacy Bapak Presiden Joko Widodo yang tidak akan terlupakan.
Seketika, pikiran saya terbang ke bait bait syair dan lirik Lagu Kebangsaan kita - Indonesia Raya, yang digubah dengan apik, visioner dan profetik oleh Wage Rudolf Supratman. Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku, di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku… dan seterusnya. Perhatikan, dengan penggunaan Indonesia yang solid itu, beliau ingin mengatakan…. Siapapun anda, apapun latar belakang politik, suku, sosial, agama, kepercayaan, daerah atau status sosial anda… kita adalah satu. Kita adalah Indonesia. Indonesia adalah tanah tumpah darah kita, di mana kita adalah sama sederajat, hidup berjuang berkarya hingga berkalang tanah di bumi Indonesia.
Indonesia adalah Pusaka bersama dengan hak yang sama. Tidak ada pemilik saham istimewa, mayoritas atau minoritas.
Pokoknya Indonesia menaungi dan memberikan kesempatan yang sama, sebagaimana anak-anak yang dilahirkan seorang ibu, yang memberikan kedekatan yang sama. Serta martabat yang sama.
Berkenaan dengan hal tersebut, saya mencoba membuat refleksi pemahaman saya memaknai lagu Indonesia Raya dalam bahasa Ibu saya, yaitu bahasa Batak Toba sebagai berikut:
Indonesia BONA PASOGIT
Indonesia bona pasogit, tano hatubuanki
Ai di si do au marjaga, huta ni Daompung i
Indonesia, ho do bangsongku
Panjaean sambulonku
Rap ma hita laos marsurak
Indonesia martua
Napu ma tano i, gabe ma luat i
Bangso i, rayat i, saluhutna
Hurpas sahalami, hehe nang gogomi
Horas Indonesia Raya
Ref. 2x :
Indonesia Raya, sai horas MERDEKA
Hutakhi, luat hasudunganku
Indonesia Raya, sai horas MERDEKA
Hot tuam, Indonesia raya
Persandingan kata kata di atas, dengan teks dan lagu Indonesia Raya dapat dilihat di youtube berikut :
https://www.youtube.com/watch?v=JvOmDYRBAek
Beberapa hal dijelaskan sebagai berikut :
Indonesia Tanah airku dimaknai sebagai Indonesia bona pasogit.
Bona pasogit adalah daerah asal yang dipandang sakral dan sangat berharga dalam alam pikiran orang Batak. Bona pasogit, bukan sekedar tanah kelahiran. Misalnya anak yang lahir di Jakarta tidak menganggap bona pasogitnya adalah Jakarta, melainkan adalah di kampung orang tua atau kakek moyangnya di dataran tinggi bukit barisan sekitar Danau Toba sana.
Melalui pemaknaan ini, kami mengajak agar secara mental kita - termasuk orang orang Batak yang lahir dan atau besar di tano parserahan (diaspora), tidak lagi secara sempit memaknai bahwa bona pasogit kita adalah Tano Batak. Bona Pasogit kita adalah Tanah Indonesia- dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga ke pulau Rote. Kita memiliki kesempatan dan panggilan hidup pengabdian yang sama di seluruh persada Nusantara. Tidak perlu lagi, orientasi pikiran kita hanya ke kampung halaman nenek moyang, atau setelah kita tua dan meninggal dunia dikuburkan di sana. Di manapun di bawah angkasa Nusantara, itu adalah tanah kelahiran kita. Bona pasogit kita
Ai di si do au marjaga huta ni Daompung i. Ini adalah persandingan dari penggalan… di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku. Kenapa saya menggunakan kata Daompung, dan tidak Dainang? Dalam tradisi Batak, perempuan yang besar dan menikah adalah dipahuta. Yang menjadi hutanya adalah huta suaminya. Dengan demikian bona pasogit kita adalah huta ayah dan leluhur kita dari garis patrianeal
Indonesia ho do bangsongku, panjaean sambulonku. Frasa ini dibuat sebagai padanan dari Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku. Bagi orang Batak, panjaean atau warisan tanah turun temurun dari orang tua dan leluhur adalah sakral. Pantang untuk diperjual belikan. Demikianlah Indonesia bagi kita. Tanah yang sakral, sambulo (destinasi) akhir hayat kita.
Indonesia bersatu dimaknai dengan Indonesia martua. Martua dalam bahasa Batak adalah suatu kondisi kualitas ternikmat melebihi kekayaan jasmani, umur panjang atau keturunan yang banyak. Orang yang martua adalah orang yang paripurna.
Itulah ekspektasi kita di Indonesia yang bersatu ini.
Hurpas sahalami, hehe nang gogomi. Bangunlah jiwanya bangunlah badannya. Konsep sahala dalam alam pemikiran Batak adalah sumber semangat, yang mampu mentransformasi lingkungan sekitar dari generasi ke generasi. Jadi sekalipun orang Batak sudah suda gogo atau sundut ari ari ni ngoluna, tetapi sahala tersebut tetap merupakan nilai penuntun kepada keturunannya.
Horas Indonesia Raya. Hiduplah Indonesia Raya. Konsep HORAS adalah ungkapan tertinggi hata pasu-pasuan dan ekspektasi dalam kehidupan orang Batak. Itulah hidup, kehidupan dan yang menghidupi. Orang Batak yang bertemu orang Batak akan menyapa dengan HORAS. Persis semakna dengan salam nasional kita MERDEKA, sebagaimana diajarkan Presiden Pertama Soekarno.
Indonesia Raya sai horas Merdeka, merupakan pemaknaan dari Indonesia Raya Merdeka, Merdeka. Bagi orang Batak, kemerdekaan itu harus memberi nuansa horas. Tata tentrem kerto raharjo gemah ripah loh jinawi lan bermartabat. Horas adalah esensi cita-cita bernegara sebagai mana termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Hot tuam Indonesia Raya…. Hiduplah Indonesia Raya. Indonesia Raya, bona pasogit kita tano na martua na manghorasi hita saluhut sigomgom nasa pangisina.
Merdeka …. HORAS. (*Penghayat budaya Nusantara, alumni LEMHANNAS RI)