Sabtu, 26 April 2025
Renungan

Misi Tercapai, Umat Tuhan Bersukacita (Ezra 6:13-18

Oleh Pdt Dr Andar Pasaribu
- Minggu, 19 Mei 2019 10:53 WIB
4.538 view
Misi Tercapai, Umat Tuhan Bersukacita (Ezra 6:13-18
Pdt Dr Andar Pasaribu
Eskalasi penindasan dan pengrusakan rumah ibadah serta umat beragama khususnya Kristen di seluruh dunia mengalami peningkatan drastis dalam satu dasawarsa ini. Belakangan ini kita dikejutkan oleh ledakan bom bunuh diri di beberapa gereja di Sri Lanka yang menewaskan hampir dua ratus lima puluh orang dan hancurnya beberapa gereja. Umat Kristen juga berduka akibat terbakarnya gereja bersejarah Notre Dame di Paris, Prancis, walaupun bukan karena aksi terorisme. Tidak terhitung berapa banyak rumah ibadah yang ditutup dan diratakan dengan tanah atas nama agama. Bangunan gereja sebagai rumah ibadah dinamai Bait Allah adalah lambang kehadiran Allah yang memengaruhi dan yang membentuk kehidupan dan pengalaman kerohanian umat.

Hancurnya bait Allah di Yerusalem oleh bangsa Babel (586 SM) meninggalkan luka mendalam dan hilangnya kepercayaan diri bangsa Yehuda. Bagi mereka, kehancuran Bait Allah berarti Allah Zebaoth yang mereka sembah itu meninggalkan mereka. Karenanya, hal pertama yang mereka lakukan saat kembali ke Yerusalem adalah mendirikan Bait Allah, yang kemudian dikenal sebagai Bait Allah kedua (Beit HaMikdash HaSheni: 586 SM – 70M).

Ada beberapa hal yang berharga perlu kita camkan dalam perikop ini: Pertama, Bait Allah sebagai pusat peribadahan dan identitas umat percaya. Perintah mendirikan Bait Allah adalah perintah Allah (ay. 14), bukan inisitiaf manusia. Pembangunan Bait Allah digerakkan oleh mereka yang takut akan Tuhan, seperti penguasa politik, yaitu, Tatnai, Koresh, Darius dan Artahsasta (ay. 14) dan para nabi seperti Hagai dan Zakharia bin Ido (ay. 14). Pembangunan Bait Suci ini memakan waktu sekitar enam tahun (ay. 15). Rampungnya pembangunan Bait Allah kedua ini mengundang sukacita luar biasa dari para pengungsi bangsa Yehuda yang telah kembali dari pembuangan.

Kini Allah kembali bertahta di BaitNya menjadi alasan utama mereka untuk mempersembahkan korban terbaik dari apa yang mereka miliki. Sebab Bait Allah dipahami sebagai lambang kehadiran Allah yang menyelamatkan bangsa itu dari pembuangan yang telah menghancurkan kehormatan mereka sebagai bangsa pilihan Allah. Dengan demikian jati diri dan kebanggaan sebagai umat Allah itu terbentuk dan dipulihkan kembali melalui kehadiran bangunan Bait Allah yang baru, kokoh berdiri.

Apa relevansi pendirian Bait Allah kedua bagi umat Kristen dewasa ini? Saat ini, ketika umat Kristen sedang gencar mendirikan bangunan gereja khususnya di Indonesia, marilah kita melihat ini sebagai inisiatif dan perintah Allah, bukan sebagai prestise dan persaingan antar umat. Gereja yang sejati harus dipahami sebagai tempat berkumpulnya umat di mana Allah yang harus menjadi pusatnya. Karenanya, pembangunan gereja harus benar-benar didasarkan oleh kerinduan rohani untuk bertemu dengan Allah, memilih orang-orang atau panitia pembangunan yang takut akan Allah dan proses pembangunannya harus dikerjakan dengan seksama sehingga jangan pernah ada penyimpangan sepeserpun dari pembangunan rumah Allah.

Gereja harus menjadi tempat di mana umat menemukan sukacita karena bertemu dengan Allah dan sesama. Adalah menyedihkan, jika di dalam gereja sering terjadi perseteruan dan penyelewengan karena ini dipahami secara teologis sebagai absennya Allah di rumah-Nya tersebut. Di dalam gereja, umat terpanggil untuk tidak pelit atau menahan-nahan persembahan mereka kepada Allah sang sumber kehidupan. Gereja harus dipahami sebagai wujud kehadiran Allah yang melimpahkan keselamatan dan kelepasan dari segala kemelut, sehingga persembahan di dalam rumah Allah harus diserahkan dari hati yang paling tulus dan penuh rasa syukur. Tentunya, gereja-gereja yang berdiri harus menjadi berkat bagi masyarakat majemuk di sekitarnya. Inilah sebahagian aspek ibadah yang dapat kita pahami dari terselesaikannya Bait Allah kedua, ketika bangsa Yehuda meluap sukacitanya dan bergelora kerinduan untuk menyerahkan persembahan yang terbaik bagi Allah.

Kedua, ibadah yang sejati adalah keterikatan hubungan kepada Allah dan sesama. Bait Allah yang rampung merupakan salah satu aspek peribadahan yang menuntut ketaatan kepada Allah. Aspek yang lain adalah peribadahan yang menekankan hubungan kepada sesama dan ciptaan, seperti yang tertulis dalam kitab Musa (ay. 18). Seperti yang kita ketahui, Dekalog (Sepuluh Hukum Tuhan) adalah hukum-hukum yang mengatur hubungan dengan Allah dan manusia. Dalam pemahaman ini, ibadah mimbar merupakan pondasi utama bagi umat untuk menjadikan hidup mereka sebagai hidup yang beribadah melalui rasa hormat kepada para pelayan tahbisan yang membaktikan hidup mereka semata-mata kepada pelayanan mimbar.

Hidup yang beribadah adalah yang mempersembahkan totalitas tubuh, jiwa dan roh kita kepada Allah (Roma 12:1). Ibadah yang sejati adalah ibadah yang berdiakonia, ibadah yang berbelas kasihan dengan mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka (Yakobus 1:27). Ibadah yang sejati adalah keluar dari zona aman (Safe Zone) di dalam konstruksi bangunan, dan masuk memperkuat konstruksi kehidupan umat dan masyarakat. Syair lagu pada masa sekolah minggu tetap menjadi sikap berteologi saya hingga saat ini: "…..Gereja bukanlah gedungnya, dan bukan pula menaranya. Bukalah pintunya, lihat di dalamnya. Gereja adalah orangnya." Amin..! (Penulis adalah Kepala Departemen Pelatihan dan Beasiswa United Evangelical Mission (UEM), Wuppertal, Jerman/h)

SHARE:
komentar
beritaTerbaru