Jakarta (SIB)
Deputi III Kantor Staf Presiden (KSP) Panutan Sulendrakusuma menyatakan, tak ada dampak signifikan terkait larangan warga negara Indonesia (WNI) masuk ke Malaysia.
Ia mengatakan, pelarangan tersebut hanya berdampak signifikan bagi para pekerja migran Indonesia yang kini sebagian besar sudah kembali ke tanah air.
Adapun untuk arus keluar masuk barang tetap berlangsung seperti biasa sehingga tidak mengganggu proses ekspor dan impor antara Malaysia dan Indonesia. "Ini tentunya kita bisa maklumi bahwa ini adalah kebijakan internal mereka. Namun kalau kita lihat misalnya dari aktivitas ekonomi, perdagangan internasional misalnya ekspor impor itu masih tetap berjalan," kata Panutan dalam sebuah diskusi virtual, Minggu (6/9).
"Contohnya misalnya bulan Juli, Malaysia masih masuk enam besar tujuan ekspor kita. Pun demikian dari sisi impor. Malaysia merupakan sumber impor kita ketujuh terbesar," kata Panutan lagi.
Ia menganggap wajar kebijakan yang diambil Malaysia tersebut lantaran bisa jadi hal itu diberlakukan untuk melindungi warga Malaysia dari infeksi Covid-19.
Ia menambahkan, Indonesia sebelumnya juga pernah mengeluarkan larangan masuk bagi warga negara Tiongkok untuk mencegah penularan Covid-19. Dengan demikian, kebijakan Malaysia itu tak perlu dipermasalahkan.
"Yang jelas dengan adanya beberapa kebijakan negara tetangga kita dan itu hak untuk melindungi ketahanan nasional mereka. Indonesia harus fokus menangani penanganan pandemi Covid ini di dalam negeri," lanjut dia.
Sebelumnya Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Teuku Faizasyah membenarkan adanya larangan tersebut.
"Pemerintah Malaysia melarang pemegang Long Term Pass dari Filipina, Indonesia, dan India untuk masuki wilayah Malaysia," katanya, Kamis (3/9).
Larangan itu akan berlaku untuk pemegang izin tinggal jangka panjang, pelajar, ekspatriat, penduduk tetap, serta anggota keluarga warga Malaysia.
Pelarangan itu, imbuhnya efektif berlaku sejak 7 September 2020. Teuku menjelaskan, Kemenlu RI telah memanggil Duta Besar Malaysia untuk Indonesia pada Rabu (2/9), guna memintakan klarifikasi atas pemberitaan tersebut. Dubes Malaysia, kata Teuku, menjanjikan akan menyampaikan pembicaraan dengan Kemenlu RI tersebut ke Kuala Lumpur.
Namun, informasi terkait sebab pelarangan belum jelas. Saat ini, Pemerintah Indonesia masih menunggu konfirmasi dari Pemerintah Malaysia.
Tolak Dibebani Biaya
Sementara itu, Pemerintah Taiwan menolak warganya dibebani biaya penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) di wilayah kepulauan itu.
Biaya-biaya, seperti tiket pesawat, pelatihan, dan visa bagi pekerja migran telah disepakati oleh majikan dan pekerja, bukan pemerintah asal pekerja tersebut, demikian pernyataan Badan Pengembangan Tenaga Kerja (WDA) Kementerian Tenaga Kerja Taiwan yang dikutip kantor berita setempat, Jumat.
Sebagai bentuk penolakan terhadap langkah Indonesia, WDA menyatakan bahwa majikan Taiwan dapat mempekerjakan tenaga kerja migran dari negara lain.
"Selain Indonesia, majikan dapat mempekerjakan pekerja dari Vietnam, Filipina, dan Thailand untuk bekerja di Taiwan. Kontrak harus ditandatangani sesuai dengan hukum, berdasarkan hukum Taiwan, yang dengan jelas mencantumkan hak dan kewajiban kedua belah pihak," demikian dinyatakan WDA, dikutip dari Antara, Sabtu (5/9).
Masalah tersebut muncul setelah pemerintah Indonesia menggelar konferensi pers pada 30 Juli, dengan menyatakan siap untuk mulai mengirim PMI ke sejumlah negara dan wilayah di dunia, termasuk Taiwan, setelah sempat menghentikannya selama hampir empat bulan akibat pandemi Covid-19.
Menurut WDA, Indonesia secara sepihak mengklaim telah mencapai kesepakatan dengan 14 negara dan wilayah, termasuk Taiwan, tentang penyaluran pekerja migran.
Namun, pemerintah Indonesia dianggap tidak mendiskusikan persoalan tersebut dengan Kementerian Tenaga Kerja Taiwan (MOL) melalui saluran yang tepat.
MOL lalu mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia pada 26 Agustus untuk mendapatkan klarifikasi atas persoalan tersebut, namun sampai saat ini belum mendapatkan tanggapan, ungkap WDA.
"MOL terus bertanya kepada Indonesia untuk mengklarifikasi masalah tersebut melalui saluran komunikasi bilateral," kata badan tersebut.
Komentar BP2MI
Persoalan itu muncul setelah Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Ramdhani, dalam wawancara dengan Kantor Berita CNA pada 31 Agustus, mengatakan bahwa para PMI banyak terjerat utang karena harus membayar biaya penempatan yang sangat mahal sehingga mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan bekerja di luar negeri tidak menjadi kenyataan.
"Negara-negara yang mengimpor tenaga kerja dan para majikan harus tahu karena ini sesuai dengan peraturan di Indonesia," ujarnya.
Benny menyebutkan bahwa biaya penempatan sebenarnya hanya Rp14 hingga Rp17 juta. Namun karena PMI banyak yang kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank, mereka meminjam melalui perantara dengan bunga tinggi, bahkan ada yang harus membayar biaya tersebut hingga Rp70 juta.
Oleh karena itu, dia menyatakan seharusnya biaya tersebut ditanggung oleh pemberi kerja di luar negeri dan sebagian lagi oleh pemerintah Indonesia.
Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan sehingga hubungan ketenagakerjaan berada dalam ranah hubungan bisnis atau "B to B". Status tersebut membedakan PMI di Taiwan dengan di Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, dan Timur Tengah, yang melibatkan pemerintah kedua negara atau wilayah. (Kps/liputan6.com/d)