Nusa Dua (SIB)- Program pengampunan pajak atau tax amnesty telah dimulai, dan menuai sentimen positif dari kalangan investor. Akan tetapi, bukan berarti kekhawatiran soal realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 sudah selesai.
Pada APBN-P 2016 disepakati belanja sebesar Rp 2.082 triliun dan pendapatan negara yang ditargetkan Rp 1.786,2 triliun. Postur anggaran tersebut dinilai masih menyimpan risiko.
"Jujur, itu risiko paling besar masih di fiskal, masih tinggi. Walaupun sudah ada revisi APBN 2016," ungkap Leo Putra Rinaldy, Analis Mandiri Sekuritas, di Hotel Westin dalam diskusi di Nusa Dua, Bali, Minggu (31/7) malam.
Leo menilai, langkah pemerintah untuk memasukkan penerimaan pajak dari program tax amnesty sebesar Rp 165 triliun terlalu berisiko. Bila itu tidak tercapai, maka pemerintah hanya memiliki dua pilihan, yaitu memperlebar defisit sampai ke 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau memotong belanja.
Kedua kebijakan tersebut tentu memiliki risiko. Dengan defisit diperlebar, artinya ada penambahan utang. Kondisi pasar keuangan yang masih penuh ketidakpastian akan sulit bagi pemerintah untuk merealisasikannya.
Kemudian pemotongan belanja. Pada APBN-P 2016, pemotongan belanja sudah dilakukan Rp 50 triliun yang bersumber dari belanja rutin atau tidak prioritas. Sementara bila dilakukan kembali, bukan tidak mungkin belanja yang dipotong adalah untuk infrastruktur. Ini tentunya akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Secara perlahan, kekhawatiran ini memudar. Apalagi setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan, menggantikan Bambang Brodjonegoro. Investor menaruh harapan besar untuk kredibilitas APBN.
"Dengan Sri Mulyani Menkeu. Bambang Brodjonegoro di Bappenas, dan Darmin Nasution di Menko Perekonomian. Saya pikir ini tim yang solid. Tapi yang paling ditunggu adalah bagaimana Sri Mulyani memutuskan soal budget dilakukan dengan elegan," paparnya.
Elegan yang dimaksud adalah, dengan menyiapkan berbagai antisipasi dari berbagai risiko yang dikhawatirkan muncul. Artinya investor juga bisa lebih tenang memproyeksikan kondisi hingga akhir tahun.
Menurut Leo, defisit anggaran masih memiliki ruang untuk dilebarkan. Namun tidak terlalu besar. Sehinga pemotongan anggaran menjadi tidak terhindarkan. Dibutuhkan keberanian dari kementerian keuangan untuk pengambilan keputusan.
"Sebenarnya apa yang akan dilakukan pemerintah terhadap budget tahun ini menentukan arah investasi swasta," ungkapnya.
"Ini adalah sentimen positif buat investor karena de javu risiko tahun lalu tidak terulang. Tahun lalu ada revenue lain digenjot. Kalau tahun ini dipilih yang bisa dikelola, maka investor harusnya positif," tegas Leo.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Rangga Cipta, Analis Samuel Sekuritas Indonesia. Rangga pesimistis dengan keberhasilan tax amnesty. Sehingga pemerintah harus waspada dengan kondisi anggaran.
Pemotongan belanja memang akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Khususnya komponen belanja infrastruktur. Bila pemerintah masih ingin pertumbuhan tetap terjaga, maka lebih baik memotong komponen belanja subsidi.
Subsidi yang diberikan pemerintah dengan anggaran yang cukup besar adalah listrik, solar dan pangan. "Kalau defisit melebar dan itu akan kurangi spending. Salah satu yang bisa dikurangi adalah subsidi," kata Rangga pada kesempatan yang sama. (detikfinance/y)