Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 15 Juni 2025

Bisnis Rokok Elektrik Berkembang di RI, Risikonya Lebih Rendah dari Rokok Biasa

Redaksi - Senin, 25 Januari 2021 11:33 WIB
413 view
Bisnis Rokok Elektrik Berkembang di RI, Risikonya Lebih Rendah dari Rokok Biasa
FOTO/iStockphoto
Ilustrasi Vape.
Jakarta (SIB)
Pengetahuan mengenai produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL), seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin, di Indonesia saat ini masih terbilang rendah.

Oleh karena itu, sosialisasi dan edukasi konsumen terkait profil risiko produk HPTL sudah mendesak guna memperkecil dampak buruk akibat konsumsi rokok di masyarakat.

"Masih banyak masyarakat Indonesia menghubungkan penggunaan rokok elektrik dengan masalah pernapasan dan kecanduan. Faktanya, rokok elektrik memiliki risiko 95 persen lebih rendah daripada rokok. Ini menunjukkan keterbatasan pemahaman mengenai profil risiko HPTL," kata Kepala Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah, dalam diskusi bertajuk "Bedah Riset: Persepsi Konsumen di Indonesia terhadap Penggunaan Rokok Elektrik", Kamis (21/1/2021).

Trubus melanjutkan, tembakau telah menjadi bagian dari kehidupan dan budaya masyarakat Indonesia. Dalam sebuah survei oleh Kantar yang melibatkan 5.702 responden dari enam negara termasuk Indonesia, sebanyak 87 persen responden dari Indonesia mengaku memiliki anggota keluarga yang merokok. 57 persen dari mereka menyebutkan, yang menjadi perokok dalam keluarga adalah sang ayah.

Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh rokok, produk tembakau alternatif dengan potensi risiko yang lebih rendah sangat diperlukan. Belakangan ada banyak produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan dan kantong nikotin, yang berkembang dan digunakan oleh perokok, baik di dunia ataupun di Indonesia.

"Sebanyak 73 persen responden Indonesia yakin bahwa bahaya merokok (adalah) karena nikotin. Namun, faktanya, proses pembakaran rokok dan TAR lah yang mengandung bahan kimia berbahaya yang dapat menyebabkan kanker. Ini yang fakta sama persepsinya berbeda," ujar Trubus.

Dia menjelaskan, risiko kesehatan yang ditimbulkan produk HPTL, seperti rokok elektrik, 90 persen lebih rendah dibandingkan rokok karena terdapat perbedaan pada proses penggunaannya. Hal itu dikarenakan produk ini tidak melalui proses pembakaran.

Dengan demikian, produk HPTL dapat menjadi solusi yang paling realistis untuk mengurangi risiko kesehatan yang diakibatkan oleh rokok. Namun, 47 persen responden Indonesia masih menghubungkan penggunaan rokok elektrik dengan masalah pernafasan. "Untuk itu, edukasi produk HPTL kepada masyarakat menjadi penting," sambungnya.

Trubus juga menilai bahwa regulasi khusus juga diperlukan, lantaran produk HPTL ilegal yang beredar saat ini cukup tinggi.
"Kemarin ada produk ilegal ke Batam dan jumlahnya sampai berton-ton. Dan 90 persen responden setuju HPTL harus diregulasi secara khusus dan disediakan bagi perokok. Seperti Inggris yang sudah ada regulasinya," tutup Trubus.

Hal senada diungkapkan Kepala Bidang Pengawasan Produk Hasil Pertanian, Aneka Ragam Kewirausahaan, Kementerian Perdagangan, Amirudin Sagala. Berdasarkan riset Kementerian Perdagangan, pengguna HPTL, khususnya rokok elektrik, saat ini sudah mencapai 2,2 juta. Adapun jumlah outlet penjual mencapai 5 ribu.

Menurut Amirudin, jumlah pengguna HPTL di Indonesia itu sudah cukup besar. Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan barang beredar yang lebih ketat menggunakan UU Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan Konsumen serta penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) atas produk-produk tersebut.

"Tujuannya untuk perlindungan konsumen agar terbangunnya konsumen yang cerdas dan angkat martabat konsumen dari barang ekses negatif. Kita edukasi konsumen dan pelaku usaha juga harus bertanggung jawab terhadap barang atau jasa yang beredar," tutur Amirudin. (Detikfinance/a)

Sumber
: Hariansib edisi cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru