Medan (SIB)
Kalangan praktisi bisnis dan konsultan jasa investasi di daerah ini menilai maskapai penerbangan nasional di Indonesia memiliki peluang besar untuk melakukan akuisisi terhadap beberapa maskapai asing yang sudah bangkrut akibat krisis ekonomi sejak wabah pandemi Covid-19.
Fungsionaris Badan Pariwisata Daerah Sumatera Utara (North Sumatera Tourism Board--Bawisda/NSTB), Ir Raya Timbul Manurung MSc yang juga kordinator divisi (kompartemen) Investasi badan kerja sama regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), dan fungsionaris Asosiasi Independen Surveyor Indonesia (AISI) Tagor Aruan, secara terpisah menyebutkan peluang bisnis ini sangat potensial dilirik dan dijajaki perusahaan maskapai BUMN seperti Garuda Indonesia Airlines (GIA) yang selama beroperasi pada rute penerbangan domestik maupun mancanegara.
"Setidaknya ada tiga perusahaan penerbangan atau maskapai besar di Asia yang sudah terpublisir bangkrut akibat Covid-19. Terlepas dari situasi sekarang masih dilanda pandemi, hal ini menjadi peluang besar bagi Indonesia dibisnis angkutan udara dan bidang pariwisata.Garuda sebagai maskapai BUMN bisa diusulkan mengakuisisi atas dasar operasional Garuda selama ini dominan pada rute-rute domestik pada wilayah yang begitu luas," ujar Raya Timbul Manurung kepada pers di Medan, Senin (15/2).
Sembari menunjukkan copy data dari beberapa media mainstream Asia, Manurung menyebutkan ketiga maskapai asing besar yang bangkrut akibat rugi besar itu adalah Malaysian Airlines System (MAS) di Malaysia, Singapore Airlines dan Silk Air di Singapura, serta Thai Airways di Thailand.
Publikasi berupa iklan 22 Oktober 2020dari pihak konsultan independen keuangan dan investasi Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG) Malaysia selaku likuidator, menyebutkan likudasi maskapai MAS itu dikarenakan bangkrut. KPMG memanggil semua kreditur untuk menyerahkan bukti-bukti hutang pada 12 November 2020. Tindakan ini juga terkait pengambil-alihan MAS oleh Malaysian Airline Berhad (MAB) pada 1 September 2020 atas saran holding (BUMN) Malaysia. Namun, pada 22 Oktober 2020, pihak MAS mengklarifikasi melalui media New Strait Times, bahwa likuidasi itu tidak terkait kebangkrutan MAS.
Media ekonomi dan bisnis 'Asia One'di Bangkok, 9 Februari lalu, mempublisir maskapai Thai Airways kebanggaan Thailand, mengalami kebrangkutan besar akibat serangan wabah Covid-19. Bangkrut diperparah tindakan pemerintah Thailand yang menarik 50 persen sahamnya pada 30 September 2020 lalu sehingga Thai Airways tidak lagi berupa BUMN. Akibatnya, Thaiharus 'nombok' karena harus membayar kewajiban sebesar 338,9 miliar baht, sementara nilai aset tinggal298,9 miliar baht. Tiga pesawat besar terpaksa dikandangkan (groundingoff), yaitu: Airbus A 330-300, A 380 dan Boeing B-747.
Selain itu, 395 pilotnya terpaksa di-PHK dan kini tersisa 905 pilot. Maskapai ini sudah mengajukan pailit dan rencana restrukturisasi kepada pengadilan niaga Thailand karena tidak mampu lagi eksis selama 2021-2022. Kini, pihak Thai Airways terpaksa buka kantin dalam pesawat yang sedang 'parkir--menganggur', dan berjualan kuliner Pa Tong Go (semacam cakwe) di jalan umum tengah kota Bangkok dan Chiangmai.
Lalu, media Nikel Asia di Singapura edisi 18 November 2020, mempublisir perusahaan maskapai ternama Singapore Airlines(SIA) dan Silk Air, adalah maskapai paling terpukul di Asia akibat wabah pandemi Covid-19. Per-September 2020, SIA sudah merugihingga USD 3,46 miliar, setara Rp 36,49 triliun(kurs Rp 14.200 per USD).Hingga Desember, kerugian bersih SIA mencapaiUSD 2,3 miliar. Itu kerugian terburuk selama SIA beroperasi, sehingga 26 pesawatnya dikandangkan, terutama pesawat-pesawat tua.
"Kerugian SIA di masa pandemi ini tertutama diakibatkan operasional SIA tidak ada untuk rute domestik, sepenuhnyauntuk penerbangan mancanegara ke 43 negara yang semula 23 negaradengan isian pesawat (load factor) hingga 98,8 persen per flight.Inilah yang perlu dilirik Indonesia atau Garuda untuk ekspansi ke seluruh rute penerbangan domestik," ujar Manurung, penggagas rencana kerjasama penerbangan bilateral Sempati Air (Indonesia) dan Thai Airways (Thailand) pada masa IMT-GT 1996 lalu.
Hal senada dicetuskan praktisi surveyor Tagor Aruan, situasi pandemi Covid-19 saat ini justru bisa dijadikan momen survey komprehensif awal untuk menjajaki potensi dan urgensi penjajakan investasi bisnis penerbangan dengan wacana akuisisi perusahaan maskapai yang bangkrut tersebut.
"Memang, implementasinya baru bisa tampak setelah pandemi usai nanti. Tapi ini menjadi peluang bisnis yang akan mendorong Indonesia untuk meningkatkan bisnis logistik dan jasa kargo udara nasional menuju kepulihan ekonomi dan bangkit lagi secara bertahap," ujar Tagor Aruan optmis. (M04/a)
Sumber
: Hariansib edisi cetak