Mantan Pimpinan Cabang (Pinca) Bank Tabungan Negara (BTN) Medan Ferry Sonefille mengakui bahwa sampai pencairan kredit modal kerja (KMK) senilai Rp 39,5 miliar ke PT KAYA selesai disalurkan secara bertahap, ia tidak pernah menerima 93 sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang diagunkan dalam kredit.
Hal ini diakui Ferry yang hadir dalam statusnya sebagai saksi untuk terdakwa oknum notaris Elviera dalam sidang lanjutan dugaan korupsi di BTN Medan senilai Rp 39,5 miliar di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (4/7). "Pada saat legal meeting, dokumen belum diperlihatkan," kata Ferry menjawab pertanyaan ketua majelis hakim Immanuel Tarigan.
Mendapat jawaban itu, hakim kemudian mencecar Ferry. "Sewaktu perjanjian kredit jaminan sertifikat tadi belum ada di BTN?," kata hakim. "(Yang ada) dokumen pernyataan (covernote) dari notaris," jawabnya.
"Apakah cukup dengan covernote? Apakah sama dianggap dengan aslinya?" tanya hakim. Ferry terdiam.
Adanya covernote dari notaris Elviera yang menyatakan bahwa ia sudah menerima seluruh persyaratan balik nama SHGB dari PT ACR ke PT KAYA selaku pemohon kredit membuat notaris cantik ini terjerat dalam perkara korupsi ini. Padahal seluruh persyaratan itu belum ada. Hingga pencairan kredit dilakukan.
"Saya tidak lihat sertifikatnya," ungkapnya.
Lantas hakim kemudian mempertanyakan bagaimana ketentuan BTN dalam hal pencairan kredit. "Kalau ketentuan sertifikat dikuasai pemohon. Sertifikat atasnama pemohon," jelasnya.[br]
Dengan fakta bahwa SHGB belum milik PT KAYA karena masih diagunkan di Bank Sumut semestinya pencairan kredit tidak dilakukan. Legal meeting dilakukan 24 Februari 2014, lalu tiga hari kemudian atau 27 Februari, perjanjian kredit dibuat. Ferry berdalih sudah ada surat perjanjian jual beli (SPJB) antara PT KAYA dan PT ACR 93 SHGB. Namun, akta jual beli nya belum ada. Akta jual beli adalah persyaratan untuk roya atau balik nama SHGB dari PT ACR ke PT KAYA atas 93 SHGB.
Namun Ferry berdalih bahwa ia tidak punya wewenang untuk menolak pengajuan kredit karena itu kewenangan BTN Pusat.
Terlebih lagi, ini menyangkut prospek keuntungan yang bisa diraih BTN dalam pencairan kredit ini. "Karena ini bisnis kita lapor ke pusat. Kepala divisi waktu itu, Agung," ungkapnya.
Karenanya ia memberikan rekomendasi kepada pusat tentang pengajuan permohonan kredit ini.
Dalam rekomendasi yang ditandatangani Ferry, BTN Medan mengajukan rekomendasi permohonan kredit bisa dilakukan.
Namun, hingga lima kali pencairan kredit dilakukan, sertifikat itu tidak kunjung diterima BTN.
Mendapat jawaban itu, hakim kemudian meminta jaksa penuntut umum (JPU) untuk menghadirkan pimpinan BTN Pusat untuk mengkonfrontir keterangan Ferry. (A17/c)