Jakarta (SIB)
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mendatangi bekas rumah dinas mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Hakim langsung mengecek lokasi Yosua terekam CCTV masih hidup di rumah dinas Sambo.
Pantauan, Rabu (4/1), tampak ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso tiba di pekarangan rumah dinas Sambo. Hakim datang bersama jaksa dan para pengacara terdakwa kasus pembunuhan Yosua.
Rombongan hakim, jaksa, dan pengacara kemudian masuk ke rumah dinas Sambo. Hakim langsung melihat pekarangan rumah dinas Sambo, tempat Yosua sempat terekam masih hidup.
Rekaman itu berasal dari CCTV yang dipasang di pos satpam dekat rumah dinas Sambo. Dalam rekaman itu, yang telah diputar di persidangan, terlihat Yosua masih hidup saat Sambo tiba pada 8 Juli 2022.
Rekaman itu tidak sesuai dengan skenario Sambo yang menyatakan Sambo tiba saat Yosua sudah tewas dalam tembak-menembak.
Sambo juga menyebut rekaman itu tak sesuai dengan skenarionya.
Hakim dan rombongan kemudian masuk ke rumah Sambo. Hakim terlihat mengecek satu per satu ruangan di rumah Sambo. Garis polisi serta penanda barang bukti terlihat masih ada di rumah dinas Sambo.
Salah satu lokasi yang dicek adalah ruangan di sekitar tangga. Lokasi itu merupakan tempat Yosua dieksekusi dengan cara ditembak.
Terdengar jaksa menjelaskan soal posisi kepala Yosua saat tergeletak di dekat tangga. Hakim dan rombongan juga naik ke lantai dua rumah tersebut.
Setelah mengecek sejumlah ruangan, hakim ketua Wahyu kemudian menyatakan, tak ada diskusi atau pembuktian apa pun yang akan dilakukan saat pengecekan ini. Dia kemudian menutup persidangan dan menyatakan hasil pengecekan bisa dibahas dalam sidang selanjutnya.[br]
"Besok kita berdiskusi di ruang sidang. Tidak ada komentar sama sekali di sini. Sidang ditutup, besok dimulai lagi dengan terdakwa Richard Eliezer," ucap hakim sebelum meninggalkan rumah dinas Sambo.
Pengecekan langsung ke TKP ini dilakukan majelis hakim atas permintaan pengacara Sambo. Tempat kejadian perkara yang didatangi adalah rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, dan rumah pribadi Sambo di Jalan Saguling III, Jakarta Selatan. Ferdy Sambo dan para terdakwa lain tidak dilibatkan.
Pengecekan rumah Sambo dilakukan tertutup.
Dikerahkan
Sebanyak 130 personel gabungan bersiaga untuk mengamankan kegiatan tersebut.
"Ada, kami tadi sudah ambil pengamanan. Ada sekitar 130 personel gabungan dikerahkan," kata Kapolsek Pancoran Kompol Pandji Ali Candra saat dihubungi, Rabu (4/1).
Sementara itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan mengatakan, tak ada pengamanan khusus dalam kegiatan tersebut.
"Secara khusus nggak, kalau secara umum kan memang polisi mengamankan keseluruhan. Kalau khusus, ya nggak," kata Zulpan.
Tak Punya Niat
Ahli pidana Firman Wijaya menyinggung elemen mental di kasus pembunuhan Brigadir N Yosua Hutabarat. Firman, yang dihadirkan sebagai ahli meringankan Bripka Ricky Rizal, menyebut, mantan ajudan Ferdy Sambo itu tak punya sikap mental untuk membantu terjadinya pembunuhan Yosua.
Hal itu disampaikan Firman saat menjadi ahli meringankan di kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat di PN Jaksel, Rabu (4/1). Duduk sebagai terdakwa mantan ajudan Ferdy Sambo, Bripka Ricky Rizal.
Pengacara Ricky, Erman Umar, awalnya bertanya apakah kliennya bisa dikatakan turut serta dalam kasus pembunuhan Yosua. Sementara, kata Erman, kliennya itu menolak perintah Ferdy Sambo untuk menembak Yosua karena tidak kuat mental.
"Kemudian menyangkut unsur kesengajaan, menyangkut menghendaki kalau pembunuhan menghendaki kematian, kalau kita ilustrasikan bahwa saudara Ricky diminta sesuatu hal untuk melakukan sesuatu yang akhirnya muncullah penembakan dan saudara Ricky menolak secara halus, dia tidak mau, tidak bersedia karena tidak kuat mental sehingga dia bingung dengan kondisi yang ada," kata Erman.[br]
"Saudara Ricky tidak melakukan aktivitas hal yang membantu aktivitas mengambil senjata, kayak memegang Yosua, tapi dia dalam posisi sudah lihat kejadian. Menurut ahli, apakah unsur ikut melakukan bagaimana ahli melihatnya? Apakah dalam teori turut serta itu ada keaktifan yang nyata?" tanya Erman.
Firman mengatakan, bila seseorang mau melakukan kejahatan pidana, tentu ada mental atau niat jahat yang biasa disebut mens rea.
Dosen Universitas Tarumanegara ini menyebut, seseorang yang menolak melakukan berarti tidak ada niat jahat di situ.
"Kalau dia mengatakan 'Siap, saya akan laksanakan' atau 'Iya, Pak. Saya akan melaksanakan', tapi kalau dia mengatakan 'Maaf Pak, saya tidak mau' 'Saya menolak', itu mental elemen yang menunjukkan mens rea tidak ada, kalau ini dikaitkan dengan niat melakukan perbuatan jahat," kata Firman.
"Jadi jelas kalau mental elemen tidak ada bagaimana kita menilai itu mens rea," imbuhnya.
Erman bertanya lagi apakah seseorang bisa dikatakan membantu kejahatan bila memanggil korban karena diperintah atasannya sementara tidak tahu apa yang akan dibicarakan atau dilakukan. Firman menilai, hal itu tidak bisa dikatakan turut serta membantu.
"Bagaimana kita menilai bahwa dia masih diminta panggil seseorang, ajudan juga walaupun dia bingung dalam keadaan apa benar, dia belum sampai sejauh itu, kondisi dia manggil dan kebetulan anak buah, pegawai, apakah bagian dari aktivitas dia bantu?" tanya Erman.
"Saya rasa tidak Pak. Jadi saya sebutkan, mental elemen itu bagian dari kausal, penyebab yang menyebabkan efek, saya memberikan contoh tadi apa bentuknya alat apa yang diminta yang punya dampak terhadap kematian," kata Firman.
"Jadi secara instrumentalis itu tidak, apalagi secara fisik diwujudkan gerakan tubuhnya misalnya kalau seseorang dia tahu bahwa atasan akan menembak, dia memegangi korban, itu gerakan tubuh yang menunjukkan, kausal relations hubungan yang secara kausalitas kelihatan atau mengarahkan posisi korban tepat pada sasaran pembunuh sasaran alat pembunuhan kira-kira itu," tambahnya. (detikcom/a)