"Jadi kalau dari angka memang kelihatan penurunan gitu ya. Tahun yang lalu itu 73, sekian, sekarang 69,5. Tapi kalau kita lihat sebenarnya, kalau tahun yang lalu itu kan baru levelnya di provinsi. Di provinsi, sehingga jumlah respondennya juga tidak sebanyak sekarang. Bahkan yang sebelumnya itu levelnya nasional kan. Hanya jadi ambil sampling secara nasional, kemudian tahun 2023 yang lalu, provinsi, mulai 2024 ini full sampai ke Kabupaten Kota," jelasnya.
Dia mengatakan skor 69,50 merupakan angka nasional. Dia mengatakan setiap Kabupaten Kota memiliki skor integritas sendiri.
"Jadi yang 69,5 itu adalah nilai nasional. Tapi di daerah-daerah juga masih ada, masing-masing punya nilai. Jadi seperti itu kira-kira, kenapa nilainya penurunan, karena secara pelaksanaannya tadi, bertahap dari dulu nasional, kemudian level provinsi, sekarang sudah setiap Kabupaten Kota punya nilai di sini," tuturnya.
Baca Juga:
Dia menerangkan berdasarkan survei yang telah dilakukan, terdapat beberapa temuan yang menarik terkait dengan kondisi integritas pendidikan di Indonesia. Mulai dari temuan terhadap kejujuran akademik, ketidakdisiplinan akademik, gratifikasi, pengadaan barang jasa terdapat benturan kepentingan, penggunaan dana BOS tidak sesuai, nepotisme serta pungli di luar biaya resmi.
"Kasus menyontek masih ditemukan pada 78 persen sekolah dan 98 persen kampus. Masalah ketidakdisiplinan akademik 45 persen siswa dan 84 persen mahasiswa yang menjadi responden, mengaku pernah terlambat datang ke sekolah atau kampus," ujar Wawan saat mempresentasikan skor
SPI tahun 2024.
Baca Juga:
"Namun tidak hanya siswa dan mahasiswa, menurut 69 persen siswa, masih ada guru yang terlambat hadir. Sedangkan menurut 96 persen mahasiswa, masih ada dosen yang terlambat hadir. Bahkan di 96 persen kampus dan 64 persen sekolah, ditemukan masih ada dosen atau guru yang tidak hadir tanpa alasannya jelas," sambungnya.
Sementara terkait gratifikasi, Wawan menyampaikan masih ditemukan 30 persen guru atau dosen dan 18 persen kepala sekolah atau rektor masih menganggap pemberian hadiah dari siswa atau wali murid adalah sesuatu hal yang wajar diterima. Pada 60 persen sekolah juga ditemukan bahwa orang tua terbiasa memberikan bingkisan hadiah pada guru pada saat hari raya atau kenaikan kelas.
"Bahkan menurut orang tua, di 22 persen sekolah masih ada guru yang menerima bingkisan agar nilai siswa menjadi bagus atau agar siswa bisa lulus," ungkap Wawan.
Dia juga menyebut dalam pengadaan barang dan jasa, masih ditemukan temuan terkait benturan kepentingan. Ada 43 persen sekolah dan 68 persen kampus yang di pimpinannya atau kepala sekolahnya menentukan vendor pelaksana atau penyedia berdasarkan relasi pribadi.