Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 23 Juni 2025

Survei Ungkap Gen Z Lebih Rentan Alami Gangguan Mental

Robert Banjarnahor - Minggu, 01 September 2024 17:41 WIB
340 view
Survei Ungkap Gen Z Lebih Rentan Alami Gangguan Mental
(Foto : kitzcorner / Getty Images/iStockphoto)
Ilustrasi Depresi.
Jakarta (harianSIB.com)

remaja/" target="_blank">Masa remaja adalah fase transisi dari anak-anak menuju dewasa. Pada fase ini, terjadi banyak perubahan fisik dan psikologis yang membuat emosi remaja cenderung tidak stabil. Ketidakstabilan emosi ini sering kali dikaitkan dengan risiko gangguan kesehatan mental pada remaja.

Menurut Data Survey Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 yang diolah oleh Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, dilansir dari Kompas.com didapatkan, bahwa prevalensi depresi penduduk umur > 15 tahun adalah sebagai berikut:

*15-24 tahun = 2%
*75+ tahun = 1,9%
*65-74 tahun = 1,6%
*23-34 tahun = 1,3%
*55-64 tahun = 1,2%
*45-54 tahun = 1,1%
*35-44 tahun = 1%

Baca Juga:

Adapun, menurut data yang sama prevalensi depresi yang berobat adalah:
*15-24 tahun = 10,4%
*25-34 tahun = 11,7%
*35-44 tahun =13,8%
*45-54 tahun = 12,3%
*55-64 tahun = 17,7%
*65-74 tahun = 15,4%
*75+ tahun = 15,4 %


Menurut Tim Jurnalisme Data Albertus Krisna, mayoritas yang mengalami prevelensi depresi itu usia muda 15-24 tahun atau gen z. "Tapi di satu sisi, mereka paling kecil presentasenya yang berkunjung ke profesional atau berobat, hanya 10,4%," ujarnya dalam acara Kompas Editor's Talks:

Baca Juga:

Artinya, meski gen Z banyak yang menyadari bahwa dirinya mengalami gangguan mental, tapi hanya sedikit yang meminta bantuan profesional.

"Kita mewawancarai banyak narsum bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi hal itu. Salah satunya karena takut bercerita pada orangtua, karena masih dianggap tabu," ujarnya.

Pandangan orangtua yang menilai masalah kesehatan mental adalah hal yang tabu dan komunikasi orangtua-anak yang tidak baik, membuat anak takut untuk bercerita. Bahkan, ada orangtua yang beranggapan gangguan kesehatan mental yang dialami anak, karena terkena gangguan mistik.

"Ada juga yang ketika sudah cerita ke orangtuanya itu dianggap tidak umum, sehingga diajak ke ustaz, disuruh minum air dari ustaz dan malah mengarah ke hal mistik," ujarnya.

Sementara mereka yang menyadari memiliki gangguan mental, tapi takut meminta bantuan drai orangtua, akhirnya memilih datang ke psikolog sendiri dan memilih menjalani pengobatan sendiri. "Sebagian dari narasumber datang ke psikolog secara diam-diam, bahkan ada juga yang menggunakan uang sendiri, padahal biaya ke psikolog itu tidak murah," ungkap Krisna.

"Kemudian ada juga yang membuat presentasi tentang apa yang terjadi pada dirinya, kemudian dia menelisik sebenanya faktornya apa. Dia mencoba menggambarkan bahwa ini salah satunya adalah karena asuhan bapak ibunya yang kurang baik," tutur Krisna.

Anak tersebut kemudian mempresentasikannya pada orangtuanya, sehingga orangtuanya sadar, jika anak mereka mengalami gangguan kesehatan mental. "Sejak saat itu orangtuanya menjadi sadar dan mensupportnya, setiap dua minggu sekali dia ke rumah sakit jiwa diantar oleh orangtuanya," ujar Krisna.(*)

Editor
: Robert Banjarnahor
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru