Oxford (SIB)- Fisikawan ternama asal Inggris, Stephen Hawking meninggal di usia 76 tahun. Semasa hidupnya, salah satu pemikiran kontroversial Hawking adalah tentang agama dan Tuhan. Dalam bukunya yang paling laku 'In A Brief History of Time', Stephen Hawking tidak memungkiri kemungkinan ada peran Tuhan dalam penciptaan dunia. Buku itu ditulis di tahun 1988.
"Jika kita menemukan teori yang lengkap, itu akan jadi kemenangan tertinggi manusia karena dengan demikian kita tahu isi pikiran Tuhan," tulisnya seperti dilansir The Telegraph. Pada bukunya 'The Grand Design' yang diterbitkan pada 2010, Hawking mengklaim bahwa tidak perlu kekuatan ilahi yang bisa menjelaskan terciptanya semesta. "Tidak perlu meminta Tuhan untuk mengatur bagaimana alam semesta bekerja," ungkap Hawking.
Saat wawancara dengan El Mundo, Hawking ditanya soal pendapatnya tentang Tuhan yang terungkap dalam 2 bukunya. Dalam jawabannya, Hawking juga menyatakan bahwa dia adalah seorang ateis. "Sebelum kita memahami ilmu pengetahuan, wajar saja untuk percaya Tuhan menciptakan alam semesta. Namun saat ini, ilmu pengetahuan menawarkan penjelasan yang lebih meyakinkan. Yang saya maksud soal 'kita akan tahu isi pikiran Tuhan' adalah kita bisa mengetahui semua yang Tuhan ketahui, apabila ada Tuhan. Yang sebenarnya (Tuhan) tidak ada. Saya adalah seorang ateis," jawab Hawking.
Tak Percaya Surga
Mendiang Stephen Hawking meyakini bahwa surga atau kehidupan setelah kematian hanyalah 'kisah dongeng' bagi orang-orang yang takut mati. Pola pemikiran ini ditegaskannya dalam wawancara dengan media Inggris, The Guardian, beberapa tahun lalu. Dalam wawancara eksklusif dengan media Inggris, The Guardian pada Mei 2011 lalu, seperti dikutip pada Rabu (14/3), Hawking saat itu menyatakan tidak ada hal apapun yang terjadi setelah otak manusia berhenti mengerjap untuk terakhir kalinya.
"Saya telah hidup dengan prospek kematian dini selama 49 tahun terakhir. Saya tidak takut pada kematian, tapi saya tidak terburu-buru untuk mati. Saya punya banyak hal yang ingin saya lakukan terlebih dulu," ucap Hawking kepada The Guardian. "Saya menganggap otak sebagai komputer yang akan berhenti bekerja ketika ada komponennya yang rusak. Tidak ada surga atau hidup setelah kematian untuk komputer-komputer yang rusak; itu hanyalah kisah dongeng untuk orang-orang takut pada kegelapan," imbuhnya.
Pernyataan itu sedikit lebih jauh dari apa yang dipaparkannya dalam bukunya yang berjudul 'The Grand Design' yang dirilis tahun 2010. Dalam buku itu, Hawking menyebut tidak diperlukan seorang pencipta untuk menjelaskan terbentuknya alam semesta. Buku itu menuai kecaman dari para pemimpin keagamaan.
Dalam wawancara dengan The Guardian ini, Hawking juga menolak pandangan soal hidup setelah kematian. Dia menekankan perlunya pemenuhan potensi Bumi dengan memanfaatkannya secara baik untuk kehidupan. Saat ditanya lebih lanjut soal bagaimana seharusnya manusia hidup, dia menjawab singkat: "Kita harus mengejar nilai terbesar melalui tindakan kita." ucapnya.
Anti Perang Irak dan Melawan Brexit
Meski mendalami sains, Hawking rupanya juga mengamati situasi politik dunia. Hawking pernah berkomentar atas pencalonan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat di tahun 2016. Hawking menyebut Trump sebagai demagog. "Dia adalah seorang demagog yang sepertinya menarik bagi faktor persekutuan terendah," kata Hawking dalam sebuah wawancara televisi seperti dilansir CNN pada 31 Mei 2016. Trump akhirnya memenangi Pemilu AS dan dilantik menjadi presiden pada Januari 2017. Hawking kembali berkomentar soal Trump setelah Presiden AS itu menarik negaranya dari perjanjian Paris.
"Kita sangat dekat dengan titik kritis di mana pemanasan global tak terelakkan lagi. Tindakan Trump bisa membuat Bumi masuk jurang, menjadi seperti Venus, dengan suhu 250 derajat dan hujan asam sulfat," ungkap Hawking seperti dilansir BBC, 2 Juli 2017.
Profesor fisika dan matematika itu amat perhatian dengan perubahan iklim. Menurut dia, perubahan iklim adalah hal yang berbahaya bagi umat manusia. "Dengan menolak bukti adanya perubahan iklim, serta menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris (Paris Climate Agreement), Donald Trump akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang seharusnya bisa dihindari dari planet kita yang indah, membahayakan alam bagi kita dan anak-anak kita," ungkap Hawking.
Keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa lewat referendum atau dikenal dengan istilah 'Brexit' (British Exit) turut menjadi perhatian Prof Stephen Hawking. Dia berpikir keputusan ini adalah bencana bagi sains di Inggris. Hawking bersama para saintis mengirimkan aspirasi mereka dalam surat yang dikirimkan ke koran Times pada 2016. Salah satu yang mereka soroti adalah keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa bisa menyulitkan para periset atau pelajar untuk meneliti hingga menuntut ilmu dengan bebas di Eropa.
"Ada 2 alasan mengapa kita harusnya tetap (di Uni Eropa). Pertama adalah untuk mendukung mobilitas orang-orang. Siswa dapat datang ke sini (Inggris) dari negara-negara Uni Eropa, dan siswa Inggris dapat pergi ke universitas di negara Uni Eropa lainnya," ujar Hawking seperti dilansir CNN pada 31 Mei 2016.
Pertukaran pelajar, kata Hawking, sangat penting dalam pertukaran ilmu dan ide-ide. Hawking berpendapat, Inggris bisa terisolasi bila tak bisa bebas melakukan pertukaran ilmu.
Profesor penulis buku 'A Brief History of Time', Stephen Hawking, juga merupakan sosok yang anti-perang. Dia pun turut dalam aksi protes menentang perang Vietnam. Hawking tampak dalam aksi menolak perang Vietnam bersama dengan Partai Buruh. Dia ikut beraksi bersama jurnalis Tariq Ali dan aktris Vanessa Redgrave. Pada tahun 2004, Hawking juga memprotes invasi militer di Irak. Dia lalu menyampaikan belasungkawa terhadap korban-korban jiwa invasi di Irak.
Hawking menyebut invasi di Iraq didasari oleh dua kebohongan, seperti dilansir The Guardian pada 3 November 2004. Kebohongan itu adalah soal klaim senjata pemusnah massal dan kaitan dengan tragedi 11 September yang disebutnya terbukti tidak benar. "Ini adalah tragedi bagi semua keluarga. Jika saya bilang ini bukan kriminal perang, lalu apa?" ungkap dia.
Hawking yang lahir tahun 1942 ini, didiagnosis menderita penyakit motor neuron pada usia 21 tahun. Dia saat itu divonis hanya bisa hidup dua tahun lagi. Penyakit dengan nama amyotrophic lateral sclerosis (ALS) yang diderita Hawking merupakan penyakit yang menyerang saraf motorik otak dan tulang belakang. Akibatnya, Hawking sudah harus mengalami kelumpuhan di usia muda. Hawking harus berada di kursi roda dan berbicara menggunakan program khusus. Kondisinya ini tidak membuat Hawking takut pada kematian. Malahan, kondisi ini membawanya untuk menikmati hidup lebih lama. (CNN/Guardian/dtc/d)