Medan (SIB)
Jalan umum dari dan ke Desa Gorat, eks Nagori Lumbangorat Kecamatan Dolokpanribuan Kabupaten Simalungun yang hanya 3 kilometer, hingga kini masih rusak parah dan dibiarkan saja hingga 12 tahun, terutama selama 10 tahun di masa dua periode Bupati Simalungun JR Saragih.
Warga petani Lumban-gorat, Peris Hutajulu dan Elmeriana Sitinjak, menyatakan pihaknya bersama warga desa yang 80-an KK, sudah lelah dan jenuh dengan janji dan iming-iming pemerintah (Pemkab Simalungun) yang tidak direalisasikan. Bahkan jalan menuju desa mulai dari Simpangkawat (sekira 13 kilometer atau 27 kilometer dari Kota Siantar)di jalur Marihat Marsada hingga simpang Siloti-Gorat, juga mayoritas rusak dan hanya beberapa ruas yang masih utuh-rata.
"Memang ada tiga jalan masuk menuju desa atau Nagori Lumbangorat, yaitu jalur lintas Desa Malopot, dari Simpangkawat dan juga dari jalur tembus ke Tanahjawa. Tapi semua rusak parah, bahkan ada jembatan lama hanya tinggal kerangka besi sehingga tidak bisa dilintasi lagi. Banyak warga petani, termasuk saya dan isteri yang sering terjatuh bersama sepedamotor ketika melintasi jalan rusak ini," ujar Peris Hutajulu dan Elmeriana Sitinjak bersama warga, Senin (22/3).
Mereka mengutarakan hal itu kepada pers di hadapan fungsionaris Asosiasi Independen Surveyor Indonesia (AISI) Captain Tagor Aruan bersama timnya yang melakukan survey prospek ekonomi di sektor pertanian daerah ini. Khusus di sepanjang jalan Desa Siloti, Gorat, Malopot pada jarak total kurang dari 9 kilometer itu tampak rusak parah dengan kondisi serakan batu timbunan, lubang-lubang bekas genangan, badan jalan menyempit akibat rambahan semak dan gerusan tepi jalan pada lokasi lembah sungai kecil.Peris dan isteri mengisahkan pihaknya beserta tim Polsek Dolokpanribuanbaru bisa tiba di Desa Gorat satu jam lebih ketika terjadi kebakaran rumah yang menewaskan ibu kandungnya Hermina boru Sianipar (96 tahun), pada 2 Oktober 2020 lalu.
"Banyak petani desa ini mulai beralih ke tanam sawit dari tanaman padi dan jagung karena jenuh dan lelah kalau musti setiap hari ke sawah-ladang melintasi jalan-jalan rusak yang berisiko. Padahal harga sawit hanya terjual Rp1.900--Rp 2.100 per kilogram dan baru menghasilkan setelah tanam 3 tahun. Alasan lainnya karena hasil tanam padi dan jagung sudah lebih sering tidak mencapai target minimal yang diharapkan" ujar Hutajulu dan boru Sintinjak dengan prihatin.
Lagi pula, ujar mereka, tanaman padi dan jagung belakangan ini sudah merugi karena lebih besar biaya perawatan, terutama mahalnya pupuk dan tak pernah mendapat pupuk subsidi, upah tanam bibit yang terus meningkat dan risiko kerusakan atau penurunan kualitas tanaman akibat ketiadaan pupuk. Khusus padi, besarnya biaya perawatan ditambah pengadaan alat jaringnilon untuk tutupan selebar areal tanaman padi yang akan menguning agar tidak disantap burung.
Secara khusus, kepada Tagor Aruan bersama tim survei dan pers, mereka menunjukkan area sisi kiri-kanan sepanjang jalan, yang sebagian telah ditumbuhi sawit, mulai dari status bibit-bibit yang baru ditanam, pepohonan sawit yang mulai berbuah (istilah: buah pasir), hingga ke sawit siap panen dengan timbunan tanda buah segar (TBS) di sisi kebun tepi jalan. Bahkan, sejumlah bidang bekas sawah tampak dibiarkan kosong, sebagian masih ditanami jagung. Tanaman sawit di area sisi kiri-kanan jalan tampak 'bersaing' bahkan agak dominan dibanding padi jagung.
"Ini tragis, kalau petani mulai meninggalkan padi dan jagung sebagai produk kebutuhan pokok. Fenomena ini memang bukan hanya terjadi di Simalungun ini saja, tapi juga di sejumlah daerah lain di Indonesia, terutama disebabkan kondisi infrastruktur lokal yang dibiarkan rusak ber lama-lama. Indonesia sebagai negara agraris dengan prospek ekonomi berbasis pertanian, jalan di desa-desa atau sentra pertanian harusnya setara dengan kualitas jalan raya di kota-kota karena merupakan lintas mobilitas rutin bagi masyarakat tani,' ujar Tagor sembari menegaskan hal ini harus menjadi fokus prioritas pihak pemerintah mulai tingkat pusat hingga daerah kabupaten.
Tagor yang juga Ketua Umum DPP Komite Independen Batak (KIB),memaparkan data kerusakan jalan desa-desa di Simalungun telah menimbulkan potes dan aksi demo warga selama ini. Misalnya aksi konvoi massal warga Desa Buntuturunan dan Desa Bosarnauli yang dipimpin Robert Nainggolan pada Oktober 2020. Padahal jalan tersebut bagian ruas jalan alternatif menuju destinasi Danau Toba dengan masa tempuh 30-an menit saja.Sebelumnya, November 2019 ratusan warga lima desa dari Kecamatan Hutabayuraja dan Bosarmaligas menggelar aksi demo tanam padi di badan jalan yang rusak bagai kubangan yang sudah lama tergenang di Desa Silkadir, Rajamaligas, Rininggol, Bahalbatu, Siboluk.
Khusus di Desa Gorat atau Nagori Lumbangorat sendiri, aksi warga yang dikordinir Moller Sinaga pada Desember 2020 lalu sampai menuding pihak Pemkab (Simalungun) sudah seperti 'buta dan tuli' karena tak melihat dan tak mendengar lagi keluhan masyarakat. Padahal, permohonan perbaikan jalan lintas Desa Lumban-gorat itu sudah dua kali diajukan ke Musrenbang tingkat Kecamatan Dolokpanribuan, agar status jalan tersebut diturunkan saja dari kelas jalan kabupaten/kecamatan menjadi status jalan desa agar bisa dikerjakan sendiri dengan dana desa (DD). Usulan itu memang diduung kepala desa (Pangulu) Syarifudin Turnip, namun belum terlaksana juga karena SK belum turun dari Pemkab atau Bupati Simalungun. (A5/c)
Sumber
: Hariansib.com edisi cetak