Di zaman now, di era teknologi informasi dan media sosial ini, kita tengah mengalami revolusi relasi-sosial. Kecepatan perubahannya nyaris tak terikuti. Itu senada dengan peningkatan kecepatan prosessor penggerak era teknologi informasi dan era media sosial itu. Sebagai contoh adalah dalam hal pengiriman surat melalui jasa pengiriman surat dan komunikasi melalui perangkat komunikasi jarak jauh. Telegram tinggal nama saja. Pager menjadi almarhum. Telepon umum wafat.
Telepon rumah hidup segan mati tak mau.
Biasanya, pada bulan Desember setiap tahun, jasa pengiriman surat mengirimkan jutaan, bahkan miliaran Kartu Ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru di seluruh dunia. Saat ini, hal itu nyaris tak ada lagi. Saya sendiri sudah sejak sepuluh tahun yang lalu tak mengirimkan Kartu Natal. Padahal, sebelumnya saya mengirimkan paling sedikit 30 lembar kartu itu di setiap bulan Desember.
Saat ini, jasa itu semua ada di genggaman tangan kita. Dengan membeli paket data sekitar Rp10.000 saja, itu semua sudah bisa kita 'lakukan'. Dan, kirimannya tiba saat itu juga, real time. Balasannya pun segera tiba, nyaris saat itu juga. Kita pun seolah-olah lega, senang, dan puas, padahal itu hanyalah kelegaan, kesenangan, dan kepuasan semu. Saya harus mengatakan bahwa itu saja tidaklah cukup.
Saya mengibaratkan dampak teknologi informasi dan media sosial ini sebagai "mendekatkan yang jauh, tetapi menjauhkan yang dekat". Memang, media sosial dapat mempertemukan kita dengan saudara dan teman yang sebelumnya sudah hilang-kontak dengan kita. Akan tetapi, media sosial juga membuat kita yang duduk nyaris tak berjarak serasa berada di dua tempat yang jaraknya ratusan bahkan ribuan kilometer. Badan kita berdekatan, tetapi hati dan pikiran kita terpisah jauh. Celakanya, makin lama kita merasa hal itu makin lumrah. Wajar saja! Inilah salah satu dampak negatif era teknologi informasi dan mediasosial itu.
Dampak negatif berikutnya adalah tergerusnya kepekaan sosial kita. Seorang teman membarukan statusnya dengan berkata: "Beginilah perilaku manusia di zaman now!" Kala itu, dia sedang menunggu penerbangan di ruang tunggu suatu bandara. Dia harus berdiri, walaupun banyak bangku yang 'kosong'. Pasalnya, bangku-bangku itu menjadi 'tempat duduk' bagi tas atau koper penumpang lainnya. Dengan merasa tak bersalah, sambil asyik dengan telepon genggamnya, para pemilik tas dan koper itu cuek saja atas keadaan itu. Mereka nirpeka!
Ketika saya sedang naik mobil angkutan kota, seorang penumpang yang duduk di depan saya tengah asyik dengan ponselnya. Dia terbahak-bahak sendirian, serasa tak ada kami di situ. Ketika seorang penumpang naik dan hendak duduk di sampingnya, dia hanya menggeser sedikit posisi duduknya tanpa sedikit pun berpaling dari ponselnya. Dia sedang teralienasi di keramaian.
Pada suatu seminar menyikapi dampak media sosial, bertajuk: "Berbagi Ruang dan Waktu dalam Keluarga", seorang ibu menyampaikan keluh-kesahnya kepada saya akibat media sosial ini. Dia mengaku, secara rata-rata, dia harus memanggil anaknya 5 kali untuk mendapatkan jawaban atau sahutan. Padahal, jarak mereka tidak lebih daripada 5 meter. Jawabannya pun mengecewakan: "Umm...! Ah, mamak ini pun ganggu aja!" Saya yakin, ibu itu tak sendirian mengalami hal seperti itu.
Kemajuan teknologi, termasuk era media sosial dan era eksponensial ini, adalah keniscayaan. Itu tak terelakkan. Mengisolasi diri darinya adalah mustahil. Yang harus kita lakukan adalah meresponsnya secara arif dan bijaksana. Dia/mereka membawa kebaikan dan keburukan bersamaan. Pilihannya ada pada kita.
Saya pikir saatnya kita kembali ke keluarga. Keluarga adalah benteng utama pertahanan kita terhadap akibat buruk era media sosial. Salah satu caranya adalah membangun ruang dan waktu untuk berbagi antar anggota keluarga (shared-space for sharing understanding).
Pada dasarnya, kita mewarisi sifat mengasihi sesama anggota keluarga (orangtua dengan anak, anak dengan orangtua, anak dengan anak, ibu dengan bapak, dan antar kerabat lainnya). Inilah yang dikenal sebagai 'natural affection'. Sayangnya, kebiasaan buruk (destructive habits) "nirpeka nirempati, dampak negatif media sosial, perilaku hedonik, dan tabiat konsumtif)" menggerusnya dari hari ke hari. Kita pun terjebak dalam kubangan lumpurnya.
Restorasi Natural Affection
Tema sentral Natal adalah perwujudan kasih Tuhan kepada umat manusia. Tuhan membangun kembali relasiNya dengan manusia yang sudah terputus akibat dosa melalui cara yang luar biasa. Tuhan mengorbankan Anak TunggalNya untuk menjadi jembatan penghubung antara manusia yang penuh dosa dengan Tuhan Yang Mahasuci. Inilah derajat kasih tertinggi (agape atau beyond love). Tuhan juga bermaksud mengembalikan (merestorasi) natural affection manusia yang sudah tergerus itu.
Persoalannya, maukah manusia ditestorasi natural affectionnya? Maukah manusia diperbaharui? Sudikah kita 'dilahirkan' kembali? Maukah manusia menyiapkan tubuh, hati, dan jiwanya menjadi lahan subur bagi benih kasih itu, dengan menerima hadiah natal terindah (The Christmas Gift) itu?
Selamat Natal!
(Penulis adalah Guru Besar USU, penatua di Gereja HKBP Perumnas Simalingkar Medan/f)