
Menurut Dr Ibnu Affan, penguasaan tanah itu adalah sesuai ketentuan hukum karena diberikan langsung oleh Sultan Negeri Serdang Tuanku Akhmad Thala'a Syariful Alamsyah (Tengku Ameck) berdasarkan surat penyerahan hak keperdataan atas tanah dengan ganti rugi antara kliennya dengan Prof Dr H OK Saidin SH MHum mewakili Sultan Negeri Serdang tertanggal 25 Mei 2023 dan telah dilegalisasi oleh Notaris Mauliddin Shati SH.
Disebutkan, secara historis objek perkara berasal dari tanah adat milik Kesultanan Negeri Serdang yang telah dikonsesikan (disewakan) kepada perusahaan perkebunan Hindia Belanda (perusahaan perkebunan Belanda di Indonesia) bernama Senembah Maatschappij sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian Acte Van Concessie Perceel Batang Koweis I en II antara Sultan Negeri Serdang yang ditandatangani Tuanku Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dengan pihak Senembah Maatschappij yang ditandatangani Tuan K Waldeck seluas 4.315 hektar.
Tanah itu meliputi wilayah Kecamatan Batangkuis Kabupaten Deliserdang yang dibuat tanggal 9 Agustus 1886 untuk jangka waktu selama 75 tahun dan semestinya berakhir tanggal 10 Agustus 1961.
Setelah Indonesia merdeka dan lahir UU Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan milik Belanda, yang pada pokoknya mengatur bahwa perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah RI dikenakan Nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas Negara RI.
Kemudian pemerintah Indonesia menjadikan lahan/tanah adat milik Kesultanan Negeri Serdang tersebut yang merupakan tanah adat masuk dalam objek Nasionalisasi yang selanjutnya diberikan kepada perusahaan perkebunan negara yaitu PT Perkebunan Nusantara (Persero), padahal tanah tersebut bukanlah milik Belanda, akan tetapi merupakan milik sah Sultan Negeri Serdang yang merupakan penduduk pribumi.
Oleh karenanya penguasaan PT. Perkebunan Nusantara (Persero) atas tanah tersebut menjadi tidak sah, maka saat ini tanah-tanah tersebut diambil kembali oleh Sultan Negeri Serdang.