Jakarta (SIB)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui ada pelanggaran HAM berat dalam berbagai peristiwa. Jokowi mengatakan hal itu diakuinya setelah membaca laporan dari tim yang dibentuknya.
"Saya telah membaca dengan saksama dari tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat," kata Jokowi dalam konferensi pers yang dilihat dari kanal YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (11/1).
Jokowi kemudian menyatakan dirinya menyesalkan peristiwa itu. Dia menyampaikan penyesalan sebagai kepala negara.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat," ucapnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat Masa Lalu. Menko Polhukam Mahfud Md menjadi ketua tim pengarah dan Makarim Wibisono menjadi ketua tim pelaksana.
Keppres Nomor 17 Tahun 2022 itu diteken Jokowi pada 26 Agustus 2022 sebagaimana salinannya dilihat detikcom, Rabu (21/9/2022). Tim PPHAM ini berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Dipulihkan
Jokowi menaruh simpati dan empati mendalam terhadap para korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu. Jokowi memastikan pemerintah akan memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat.
"Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Oleh karena itu, yang pertama saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial," kata Jokowi.
Selain itu, Jokowi memastikan pemerintah akan bersungguh-sungguh agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi.
"Yang kedua, saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang," ujarnya.[br]
Jokowi juga meminta Menko Polhukam Mahfud Md untuk mengawasi dua komitmen pemerintah tersebut. Jokowi berharap upaya pemerintah itu akan memperkuat kerukunan nasional.
"Saya minta Menko Polhukam untuk mengawasi upaya upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik.
Semoga upaya ini menjadi langkah berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam NKRI," ujarnya.
Pelanggaran HAM Berat
Jokowi mengakui sejumlah pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia. Ada 12 pelanggaran HAM berat yang diakui Jokowi.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan saya sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat," kata Jokowi.
Jokowi juga bersimpati kepada korban dan keluarga korban.
"Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada korban dan keluarga korban," ungkapnya.
Berikut ini daftar pelanggaran HAM masa lalu yang diakui Jokowi:
1. Peristiwa 1965-1966,
2. Penembakan Misterius 1982-1985,
3. Peristiwa Talangsari Lampung 1989,
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1998,
5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
7. Peristiwa Trisakti Semanggi 1 & 2 1998-1999,
8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
9. Peristiwa Simpang KAA di Aceh 1999,
10. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002,
11. Peristiwa Wamena Papua 2003,
12. Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.
Segera Panggil
Jokowi mengatakan, akan segera mengumpulkan para menterinya untuk membahas pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu seperti yang direkomendasikan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) Berat Masa Lalu.
"Dalam waktu dekat, Presiden nanti akan mengundang menteri-menteri terkait. Menteri Sosial, Menteri PUPR, Menteri Keuangan, Panglima TNI, Kapolri, dan Menteri Pendidikan dan lain-lain ya akan diundang," kata Menko Polhukam Mahfud Md di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu (11/1).
Mahfud mengungkapkan, Jokowi akan memberikan tugas kepada tiap menteri dalam hal pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Pemulihan hak korban itu seperti pemberian beasiswa hingga rehabilitasi fisik.[br]
"Untuk diberi tugas berdasar rekomendasi ini. Yang bidang pendidikan ini, yang bidang sosial ini, yang PUPR ini, yang beasiswa ini dan seterusnya dan seterusnya. Yang kesehatan ini karena juga banyak rehabilitasi fisik juga ditemukan di beberapa tempat.
Kemudian ada orang yang masih didiskriminasi dalam kehidupan sehari-hari," papar dia.
Tak Tiadakan Proses Yudisial
PPHAM Berat Masa Lalu menyampaikan hasil penyelidikannya kepada Presiden Jokowi. Menko Polhukam Mahfud Md menjelaskan tim ini tidak meniadakan proses yudisial.
"Tim ini tidak meniadakan proses yudisial," kata Mahfud.
Mahfud melanjutkan, menurut Undang-Undang No 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat harus diproses secara yudisial. Karena itu, tim PPHAM pun akan terus mengusahakan proses yudisial terhadap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tetap dilakukan.
"Tapi oleh karena menurut Pasal 46 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 pelanggaran HAM berat itu harus diproses, diusahakan diproses ke yudisial, ke pengadilan tanpa ada kedaluwarsa, maka kami akan terus usahakan itu dan persilakan Komnas HAM bersama DPR dan kita semua mencari jalan untuk itu," tuturnya.[br]
"Jadi tim ini tidak menutup dan mengalihkan penyelesaian yudisial menjadi penyelesaian non-yudisial," imbuh Mahfud.
Mahfud Md menegaskan, penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu itu bukan untuk menghidupkan lagi komunisme.
"Kedua isu yang dulu misalnya masalah peristiwa '65 ada yang menuding itu untuk menghidupkan lagi komunisme dan sebagainya itu tidak benar. Karena berdasarkan hasil tim ini justru yang harus disantuni bukan hanya korban-korban dari pihak PKI tapi juga direkomendasikan korban kejahatan yang muncul di saat itu termasuk para ulama dan keturunannya," tutur Mahfud.
Mahfud juga menepis bahwa pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu itu untuk mendiskreditkan Islam. Mahfud menjelaskan, korban-korban yang haknya dipulihkan justru banyak dari kalangan ulama. (detikcom/c)