Kamis, 02 Mei 2024

Pengamat Ekonomi: Perang Iran-Israel Bisa Picu Gejolak Harga Pangan

Redaksi - Selasa, 16 April 2024 17:33 WIB
Pengamat Ekonomi: Perang Iran-Israel Bisa Picu Gejolak Harga Pangan
Foto: Shutterstock
Ilustrasi

Kinerja mata uang Rupiah pada Selasa (16/4/2024), mengalami pelemahan yang cukup tajam hingga menyentuh 16.200 per dolar AS.

"Belum bisa dipastikan kapan tekanan ini akan berakhir dan sangat bergantung pada sikap masing-masing negara yang terlibat perang," kata Pengamat Ekonomi dan Keuangan, Gunawan Benyamin, kepada jurnalis SIB, Selasa (16/4).

Dikatakannya, pelemahan mata uang Rupiah ini bisa menjadi kabar buruk bagi sejumlah komoditas pangan di Tanah Air. Bahkan hampir semua kebutuhan pangan strategis tidak akan bisa melepaskan diri dari pelemahan Rupiah. Mulai dari bahan baku penolong, bahan baku input produksi hingga barang siap konsumsi didatangkan dengan cara diimpor.

Untuk komoditas pangan hotrikultura (cabai dan sayur-sayuran) membutuhkan pupuk, di mana sebagian bahan baku pupuk dibeli dari negara lain.

Untuk sumber protein seperti daging ayam dan telur ayam, juga membutuhkan bahan baku olahan seperti pakan yang sebagian juga didatangkan dari negara lain.

Atau seperti beras Bulog, daging sapi dan sapi indukan yang memang didatangkan dalam bentuk barang jadi siap konsumsi dari negara lain. Termasuk gula pasir impor yang hanya sedikit butuh reaksi kimia dan siap dikonsumsi.

Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagian juga masih diimpor. Pelemahan Rupiah akan membuat harga barang-barang impor (konversi) menjadi lebih mahal, meskipun harga barang dari negara asal bisa saja tidak mengalami perubahan.

"Sehingga wajar jika muncul kekuatiran bahwa pelemahan Rupiah bisa membuat pemerintah merevisi kebijakan subsidi, atau bisa memicu kenaikan harga jual barang yang lebih tinggi," katanya.

Yang penting, menurut dia, pemerintah bisa memitigasinya dengan serangkaian kebijakan untuk mengurangi dampak buruk dari pelemahan Rupiah itu sendiri.

"Pelemahan Rupiah saat ini merupakan buah dari ketidakstabilan geopolitik global yang terus meningkat, di tengah ketidakstabilan ekonomi global yang turut menyertainya. Dan, pemerintah sebaiknya lebih realistis melihat keadaan serta menempatkan kemungkinan risiko terburuk yang akan terjadi. Seperti, acuan nilai tukar Rupiah dalam APBN disesuaikan dengan mempertimbangkan risiko kebijakan suku bunga tinggi The FED dan perang yang berkecamuk dan meluas. Serta tren neraca dagang yang melemah seiring dengan memburuknya kinerja ekonomi negara tujuan ekspor," paparnya.

Jika pelemahan Rupiah dan ancaman kenaikan harga minyak mentah dunia direspon Presiden Jokowi untuk merevisi kebijakan subsidinya, lanjutnya, maka akan ada kemungkinan terjadinya gejolak harga pangan serta kenaikan laju tekanan inflasi.

Namun, sebutnya, dari sekian banyak risiko yang timbul akibat tensi geopolitik yang menekan rupiah, ada satu sektor lain selain urusan ketahanan pangan yang perlu dijaga baik-baik, yakni perbankan dan keuangan.

"Pemerintah harus curahkan perhatian yang besar untuk menjaga ketahanan pangan dan perbankan di tengah situasi yang serba tidak pasti seperti saat ini," katanya.(**)



Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Imbas Perang Iran-Israel, Rupiah Tembus Rp 16.000
Paus Desak Perang Iran-Israel Dihentikan
Pengamat Ekonomi Apresiasi Pemkab Simalungun Hapus Denda PBB 100 Persen
Harga Tiket Nias-Medan Mahal, Pengamat Ekonomi  Sebut Dampak Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia
Pengamat Ekonomi Minta Penelusuran Kasus Penimbun Minyak Goreng Dilakukan Lebih Mendalam
Pengamat Ekonomi Tawarkan Solusi Tingkatkan PAD Simalungun
komentar
beritaTerbaru