Jakarta (SIB)- Wacana mengenai revisi aturan mengenai remisi tahanan menimbulkan kontroversi karena menyangkut pula tahanan korupsi. Menkum HAM Yasonna Laoly menegaskan bahwa wacana tersebut tetap akan dipertimbangkan.
"Ketika saya lontarkan wacana remisi, saya sudah sampaikan ke media bahwa yang ingin saya terapkan adalah penegakan hukum yang adil," kata Yasonna saat menjadi pembicara dalam diskusi Komite Kerja Advokat (Tekad) Indonesia di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (23/3/2015).
Hadir pula dalam acara tersebut politisi PDIP Panda Nababan, Trimedya Panjaitan, dan Junimart Girsang yang juga merupakan praktisi hukum. Kemudian ada pula Plt Dirjen AHU Chaidir Alam, Wakapolri Komjen Badrodin Haiti, serta Jampidsus Widyo Pramono yang mewakili Jaksa Agung.
Yasonna kemudian menjelaskan bahwa tugas polisi adalah melakukan penindakan dan penyidikan. Kemudian Jaksa melakukan penuntutan, dan KPK bertugas menuntut, menyidik, hingga menindak tindak pidana korupsi.
"Oleh karena itu mereka tidak bisa memberikan rekomendasi mengenai remisi," imbuh Yasonna.
Dia kemudian menyatakan bahwa kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) boleh dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Kejahatan seperti korupsi, narkoba, dan terorisme termasuk ke dalamnya dan boleh dituntut semaksimal mungkin.
Adalah peran hakim yang memutuskan hukuman dengan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan hingga meringankan. Setelah itu giliran tugas Lembaga Permasyarakatan untuk mebina warga binaannya yang sudah dijatuhi hukuman.
"Saya kira inilah yang akan kita letakkan, sistem yang berjalan dengan baik sesuai fungsi. Kalau kejahatan biasa bisa mengajukan remisi setelah 6 bulan masa tahanan, maka extra ordinary crime bisa saja setelah 1,5 tahun atau bahkan setelah jalani sepertiga masa hukuman," tutur Yasonna.
(detik.com/A22)