Jakarta (SIB)
Harga minyak mentah dunia tercatat melonjak hingga US$103,39 per barel pada awal perdagangan Senin (28/2) pagi.
Angka tersebut melonjak usai Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan agar 'kekuatan pencegahan' termasuk senjata nuklir di negaranya disiagakan, Minggu (27/2).
Harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman April diketahui melonjak hingga US$103,39 per barel pada awal perdagangan atau naik sekitar 5,6 persen dari harga penutupan sebelumnya.
Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) pengiriman Maret tumbuh sebesar 6,01 persen menjadi US$97,50 per barel setelah menyentuh puncak tertingginya di US$100,54 per barel.
Analis sekaligus Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi memproyeksikan, harga minyak mentah di pasar internasional masih akan menguat seiring konflik Rusia-Ukraina yang masih belum mereda.
Ibrahim menilai, ketegangan antara Rusia dan Ukraina tersebut juga masih akan memberikan sentimen positif untuk komoditas emas di pasar global.
Ia meramalkan harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) akan berada dalam rentang support US$115 per barel dan resistance US$85 per barel.
Rubel Jatuh
Minyak mentah melonjak sementara rubel anjlok hampir 30 persen ke rekor terendah pada Senin (28/2) sore, setelah negara-negara Barat memberlakukan sanksi baru yang keras terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina, termasuk memblokir beberapa bank dari sistem pembayaran global SWIFT.
Permintaan safe-haven mengangkat obligasi bersama dengan dolar dan yen, sementara euro merosot setelah Presiden Rusia Vladimir Putin menempatkan angkatan bersenjata nuklir dalam siaga tinggi pada Minggu (27/2), hari keempat serangan terbesar di negara Eropa sejak Perang Dunia Kedua.
Meningkatnya ketegangan meningkatkan kekhawatiran bahwa pasokan minyak dari produsen terbesar kedua di dunia itu dapat terganggu, mengirim minyak mentah berjangka Brent melonjak 4,21 dolar AS atau 4,3 persen menjadi 102,14 dolar AS per barel. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS terangkat 4,58 dolar AS atau 5,0 persen pada 96,17 dolar AS per barel.
"Saya memberi tahu klien yang kami tahu pasti adalah bahwa harga energi akan lebih tinggi, dan akan ada beberapa penerima manfaat," kata John Milroy, penasihat keuangan Ord Minnett di Sydney, dikutip dari Reuters.
"Ini klise lama, tapi memang benar bahwa ketidakpastian mendorong pergerakan ke dua arah."
Saham Asia-Pasifik berbalik lebih rendah setelah menghabiskan sebagian besar sesi pagi di zona hijau, menempatkannya sejalan dengan penurunan untuk saham berjangka AS dan Eropa.
Nikkei 225 Jepang turun 0,25 persen, sementara saham unggulan China tergelincir 0,36 persen. Namun, indeks acuan Australia menguat 0,64 persen, didorong oleh saham energi.
Indeks saham regional MSCI turun 0,58 persen.
Saham berjangka emini AS mengarah ke penurunan 2,35 persen saat dimulai kembali, sementara EURO STOXX 50 berjangka pan-Eropa anjlok 3,90 persen. FTSE berjangka turun 1,21 persen.
"Kami memiliki banjir informasi yang sangat negatif selama akhir pekan," kata Kyle Rodda, seorang analis pasar di IG Australia. "Kita berbicara tentang risiko stabilitas keuangan, dan menaburkan ancaman perang nuklir."
"Volatilitas meningkat," katanya. "Aksi harga sangat berombak."
Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun turun sekitar 9 basis poin menjadi 1,89 persen, dan imbal hasil Australia yang setara turun sekitar 6 basis poin menjadi 2,177 persen.
Euro turun 1,1 persen menjadi 1,11465 dolar dan 1,1 persen menjadi 128,785 yen, sedangkan dolar Australia dan Selandia Baru yang sensitif terhadap risiko masing-masing merosot 0,78 persen dan 0,88 persen.
Rubel menukik sebanyak 29,67 persen ke rekor terendah 119,5 per dolar.
Emas naik lebih dari 1,0 persen menjadi sekitar 1.909 dolar AS karena permintaan untuk aset teraman.
"Volatilitas ini akan berlangsung untuk sementara waktu, sampai debu mereda," kata Shane Oliver, kepala ekonom di AMP Capital.
Sementara itu, "pasar akan berayun dari headline ke headline," katanya.
Beri Sanksi
Singapura bergabung dengan komunitas internasional dalam menjatuhkan sanksi terhadap Rusia terkait invasi ke Ukraina.
Sanksi dari Singapura ini melibatkan pembatasan ekspor untuk barang-barang yang bisa digunakan sebagai senjata di Ukraina dan memblokir transaksi keuangan terkait Rusia.
Seperti dilansir Channel News Asia dan CNN, Senin (28/2), Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengumumkan sanksi untuk Rusia saat berbicara di hadapan parlemen Singapura, Senin (28/2) waktu setempat.
Disampaikan Balaskrishnan, Singapura akan menjatuhkan 'sanksi dan pembatasan yang pantas' terhadap Rusia. Dia menyebut, invasi Rusia ke Ukraina 'tidak beralasan' dan merupakan 'pelanggaran yang jelas dan berat terhadap norma internasional'.
Balaskrishnan menyatakan bahwa Singapura berniat untuk 'bertindak bersama-sama' dengan negara-negara lainnya dalam mengambil sikap tegas, sembari menyinggung soal 'kegawatan yang belum pernah terjadi sebelumnya' dari situasi terkini di Ukraina.
"Kami akan memberlakukan pengendalian ekspor bagi barang-barang yang bisa digunakan secara langsung sebagai senjata di Ukraina untuk menimbulkan kerugian, atau menaklukkan Ukraina," ungkapnya.
"Kami juga akan memblokir bank-bank Rusia dan transaksi keuangan tertentu, yang berkaitan dengan Rusia," sebut Balakrishnan, sembari menyatakan bahwa langkah-langkah khusus masih disusun.
Lebih lanjut, Balaskrishnan memperingatkan bahwa sanksi-sanksi itu mungkin akan memiliki dampak dan memberitahu warga Singapura 'untuk bersiap menghadapi konsekuensi' dari membela kepentingan nasional Singapura.
"Kita tidak bisa menerima satu negara menyerang negara lain tanpa pembenaran ... alasan semacam itu akan bertentangan dengan legitimasi dan integritas wilayah dari banyak negara yang diakui secara internasional, termasuk Singapura," tegasnya.
Singapura, sebut Balakrishnan, mendesak Rusia untuk menghentikan serangannya dan mengupayakan perdamaian.
Larang
Pasca Rusia memulai invasi ke Ukraina, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengumumkan sanksi besar-besaran di sektor jasa keuangan Rusia.
Dua bank milik negara Rusia yaitu Bank Pembangunan Negara Vnesheconombank (VEB) dan Perusahaan Saham Gabungan Publik Promsvyazbank (PSB) dilarang oleh AS untuk memproses transaksi apapun.
Dikutip dari catatan, Sabtu (26/2)VEB sangat krusial bagi kemampuan Rusia untuk mengumpulkan dana, danPSB sangat penting bagi sektor pertahanan Rusia. Sanksi ini akan membuat Rusia terputus dari sistem keuangan global.
Biden mengumumkan sanksi tersebut setelah Presiden Rusia, Vladimir Putin setuju untuk menggunakan kekuatan militer di luar perbatasan Ukraina-Rusia. Ini merupakan sebuah perkembangan yang sudah direncanakan untuk memberikan serangan yang lebih luas ke Ukraina.
Selain itu, Biden juga mengumumkan bahwa AS akan menerapkan sanksi komprehensif terhadap utang Rusia. Keputusan yang dibuat Biden membuat Rusia tidak bisa lagi menerima atau mengumpulkan uang dan tidak bisa lagi menjual utang barunya di pasar AS serta pasar Eropa.
"Itu tidak bisa lagi mengumpulkan uang dari Barat dan tidak bisa memperdagangkan utang barunya di pasar kita, atau pasar Eropa juga," tambah Biden.
Selain sanksi atas bank dan utang Rusia, Biden juga menjatuhkan sanksi tersendiri kepada tiga individu, yang dua di antaranya adalah putra pejabat tinggi pemerintah Rusia.
Saat mengumumkan sanksi kepada tiga individu tersebut, Biden juga mengatakan anak-anak dewasa dari anggota lingkaran dalam Putin harus merasakan sakit dari kebijakan Kremlin di negara itu sendiri. (CNNI/Antaranews/Detikcom/DetikFinance/a)