Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Jumat, 13 Juni 2025

Biarawati Perealisasi Visi Kartini

- Minggu, 20 April 2014 23:15 WIB
767 view
Biarawati Perealisasi Visi Kartini
"Hura! Untuk kesenian dan kerajinan rakyat kami! Hari depannya sudah pasti akan cemerlang. Aku sulit untuk mengatakan betapa girang, terima kasih dan beruntungnya kami di sini...

(Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, anak dari Mr. J.H. Abendanon)


Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai pahlawan emansipasi wanita. Tetapi perjuangan perempuan yang lahir pada 21 April 1897 itu menggapai melebihi zamannya. Salah satu visi  putri dari Bupati Jepara RMAA Sosroningrat dan ibunya, MA Ngasirah itu adalah bidang humaniora, khususnya kesenian rakyat (baca: etnik). "Dalam kesenian etnik ada kearifan lokal, yang membentuk kualitas menggenapi keseimbangan hidup individu," ujar Kepala Sekolah SD St Yoseph 1 Medan Sr Agnes Saragih  SPd SFD. "Humaniora tak sekadar lakon tapi melatih hati mengisi dan menebalkan iman sesuai keyakinan masing-masing individu,” tambah Kepala Sekolah SMP Santa Maria Medan Sr Mariana Purba SS SPd SFD, Sabtu, (12/4).

Dengan kesadaran itu, kedua biarawati tersebut menekankan pengadopsian muatan lokal untuk menggali kearifan guna direalisir dalam kehidupan. Melalui kebijakannya, Sr Mariana Purba SFD dan Sr Agnes Saragih SFD mengharuskan anak didik di lingkungan sekolah yang dipimpinnya mengadopsi dan mempertunjukkan kesenian etnik dalam tiap pergelaran seni, baik intern maupun ekstern.

Satu contoh saat merayakan HUT ke-90 SD St Yoseph pada Maret 2014. Selain pergelaran kolosal riwayat berdirinya sekolah, juga diketengahkan pesta budaya dengan perarakan Lampet Raksasa guna menunjukkan pada anak-anak tentang proses utuh, mulai dari pembuatan hingga makna makanan tradisi itu dalam kehidupan warga Tapanuli, khususnya Batak Toba. Sama halnya ketika pesta seni SMP St Maria. Selain memperlombakan seni modern dan etnik, pun ditampilkan hal-hal tradisi terkait kehidupan masyarakat. "Jika menampilkan kesenian impor, hanya sekadar pertunjukan seperti gerak tak berwujud makna. Tapi kalau menyuguhkan kebudayaan bersumber dari adat-istiadat sendiri, ada jiwa yang terisi. Minimal terjadi komunikasi antarjiwa. Dalam gereja Katolik dinamakan inkulturatif dan dilakoni, baik dalam acara pokok maupun acara tambahan," ujar Sr Mariana Purba SFD.
***
Sr Agnes Saragih SFD lahir di Simp Haranggaol, Haranggaol, Simalungun pada 14 Mei 1970 sebagai putri pertama dari delapan bersaudara anak pasangan Rufinus Saragih - Sarmiana Girsang. Masa kecil yang indah dan dibesarkan dalam lingkungan yang kuat tradisi. Meski demikian, konsekuensi dari menimba ilmu yang dikembangkan pemikir Barat, ragam muatan impor ikut terserap. "Tetapi kalau dasar pemahaman dan pengamalan kebudayaan kuat maka sudah ada benteng," ujarnya sambil mengingat masa kecilnya dididik dan diarahkan dalam lingkungan ketat disiplin sehubungan orangtuanya seorang militer.

Mengikuti ketat disiplin dan ditanamkan adat-istiadat di rumah, kala menimba ilmu di SD Inpres Purba Hinalang melanjut ke SMPN2 Simp Haranggaol dan SPG Kabanjahe hal serupa dilakukan hingga semakin kental. Bahkan kala harus meninggalkan keluarga untuk menimba ilmu membuatnya semakin luwes dalam pergaulan sosial. Tatkala berada dalam komunitas etnik beragam, terjadi komunikasi budaya hingga terwujud satu inkulturatif baru.
Menghadapi pergumulan yang hebat ketika memantapkan pilihan menjadi biarawati,  Sr Agnes Saragih SFD membuktikan bahwa dengan memiliki dasar adat yang kuat maka di mana pun berada dapat memberi pengajaran bahkan menginspirasi orang banyak. "Orangtua menginginkan anak-anaknya merealisasi semangat dan cita-cita. Pandangan mereka, kalau di biara, tidak lagi punya kesempatan, melestarikan tradisi. Ternyata tidak. Bahkan tetap memegang teguh bahkan ikut melestarikan," ujarnya sambil mengenang bahwa awalnya, orangtuanya kurang mendukung pilihannya masuk biara. "Tetapi sekarang ayah  terus menyemangati dan memberi spirit bahwa saya mampu menjaga dan menjadi penyambung keinginannya, baik dalam kehidupan sosial dan religi!"
***
Sama seperti yang dilalui Sr Mariana Purba SFD. Lahir di Dolokmaria, Simalungun pada 10 Mei 1970, sebagai putri kedua dari lima bersaudara anak pasangan Dope Yohannes Purba - Giat Petra Saragih, kehidupan yang dilaluinya dalam bentukan tadisi Simalungun yang kuat. Menimba ilmu di SD Dolokmaria dan melanjut ke SMP Sarangpadang. Saat menggali ilmu di pendidikan dasar, orangtuanya dipanggilNya. Kedekatan secara fisik dan batin dengan ayahnya, seperti dirampas paksa membuatnya terobsesi ingin terus bertemu dengan ayahnya. "Dan memang, dalam mimpi, terus saja datang! Lega batinku jika sudah begitu!"

Dibesarkan oleh seorang ibu yang pekerjaannya cuma petani, menggugah keinginannya untuk cepat mandiri dengan harapan mengurangi beban orangtuanya. Saat itulah mulai mengenal dunia biara melalui datangnya para misionaris dan mengajaknya untuk mendoakan orangtuanya. Ketika kakaknya, Raimunda Purba masuk ke sekolah calon suster di Padangsidimpuan, kemauan menjadi biarawati makin besar.  Sr Mariana Purba SFD muda melanjut ke  SPG Rudangta Kabanjahe (yang sekarang SMAN2 Kabanjahe). Mengetahui hendak menjadi biarawati, ibunya mengoreksi tapi Sr Mariana Purba SFD menaifkan bahwa menjadi calon biara belum pasti jadi karena harus melewati seleksi ketat, intelektual dan psikis. "Bila tidak dipanggil, betapapun ingin, pasti tak bisa!"

Buktinya, dari sekian puluh perempuan pilihan yang lolos seleksi dalam angkatannya, hanya 3 orang masuk hingga kaul kekal menjadi suster. Dalam angkatannya, selain Sr Mariana Purba SFD dan  Sr Agnes Saragih SFD, seorang lagi yang sekarang bertugas di Sibolga, Sumut.

Masuk menjadi biarawati di tahun 1987, banyak lokasi pengabdian dijalani Sr Mariana Purba SFD mulai di Kabanjahe, Tigabinanga, Kabanjahe, Tangerang, Pematangsiantar, Palangkaraya, Medan, Kabanjahe dan kembali lagi ke Medan. Dalam tiap lokasi tempat tugas itu, terjadi komunikasi intens dengan masyarakat hingga muncul kesepahaman. "Inkulturatif juga karena dalam tata acara tetap dibawa adat-istiadat setempat," tandas  Sr Mariana Purba SFD sambil mengatakan bila individu tidak paham dengan adat istiadat leluhurnya secara samar terjadi aneksasi dan seterusnya jika memiliki kekuatan pemahaman dan memedomani adatnya maka yang mengemuka adalah penggalian kearifan etnik masing-masing hingga tercipta kesepahaman yang mengekalkan persaudaraan dalam keberagaman. (R9/ r)


SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru