Esther Gayatri Saleh, 54 tahun, baru mendarat di landasan Bandara Husein
Sastranegara, Bandung, sekitar pukul 09.00 WIB. Ia keluar dari pintu
kiri kabin pilot sambil menggendong tas parasut berwarna biru tua,
senada dengan pakaiannya.
Perempuan mungil itu baru saja
menerbangkan pesawat purwarupa (prototype) N219 buatan PT Dirgantara
Indonesia (PT DI), Sabtu (16/9/17). Selama satu jam ia berputar-putar
hingga ketinggian delapan ribu kaki dari daratan di atas daerah
Batujajar dan Waduk Saguling, Kabupaten Bandung Barat.
"Jarak maksimal terbang radiusnya 20 mil dari sini," katanya di hanggar N219 PT DI, Bandung, Jawa Barat.
Itu
penerbangan N219 yang keempat kalinya. Setelah terbang perdana yang
mendebarkan pada 16 Agustus 2017 lalu, Esther mengujinya lagi pada 23
Agustus dan 15 September lalu.
Pesawat purwarupa itu harus
berkali-kali terbang hingga meraih sertifikat laik terbang (Certificate
of Airworthiness) dari Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian
Pesawat Udara Kementerian Perhubungan.
Paling tidak uji
terbangnya hingga 300 jam. "Bisa saja mungkin kurang dari 300 jam sudah
disertifikasi. Ini perjalanan yang masih panjang dan butuh waktu yang
intensif untuk analisa," ujar perempuan kelahiran Palembang, Sumatera
Selatan, 3 September 1962 itu.
Terbang dengan pesawat purwarupa,
Esther belum banyak tahu soal hasil rancangan pesawat ketika di
angkasa. Di atas kertas bisa jauh berbeda dengan kenyataannya.
Sampai
menjelang terbang perdana, masih ada pertanyaan dalam benak Esther.
Apakah N219 bisa terbang atau tidak dan bagaimana perilaku 'bayi' itu di
angkasa?
Di sisi lain, penerbangan pesawat purwarupa di dunia
kini sudah langka. "Karena mengembangkan pesawat prototype itu mahal,
dan evolusinya lama, bisa satu atau tiga tahun tes. Risiko saat terbang
perdana adalah nyawa kami," ujarnya.
Esther dan seorang co-pilot
yang duduk di samping kanannya, seperti pengasuh yang membimbing bayi
belajar berjalan. Sesuai prosedur penerbangan pesawat purwarupa,
prosesnya harus dimulai pelan-pelan, bertahap, dan terbatas, seperti
kecepatan, ketinggian, dan radius jelajah pesawat.
Berbeda dengan
pesawat produksi, pesawat purwarupa tidak memiliki buku petunjuk.
Justru tujuan penerbangannya adalah mengumpulkan data, memperbaiki
kekurangan, dan mengenali perilaku pesawat.
"Itu luar biasa.
Kehormatan bagi saya Direktur Utama (Elfien Guntoro) mempercayakan tes
penerbangan kepada saya," kata mantan pilot Merpati Nusantara Airlines
periode 1987-1995 itu.
Setiap selesai menerbangkan N219, Esther
mengendurkan otot dan syarafnya dengan berenang di suatu hotel.
Sementara para teknisi dan penganalisis data menindaklanjuti laporan
Esther dan instrumen pengumpul data untuk memperbaiki kekurangan.
Pesawat selanjutnya tidak akan diterbangkan kalau belum siap.
Pesawat
yang diproduksi bersama PT Dirgantara Indonesia dengan Lembaga
Penerbangan Antariksa Nasional itu merupakan 'bayi' asli Indonesia yang
proses kelahirannya ditangani sepenuhnya oleh perekayasa teknologi
(engineer) dan teknisi lokal.
Dikembangkan sejak 2006, N219 yang
sekelas dengan pesawat Twin Otter itu dirancang sebagai pesawat
multiguna. Ia bisa dipakai untuk armada militer maupun angkutan sipil.
Sepanjang ada landasan 600 meter, N219 bisa berfungsi sebagai pesawat
kargo.
Pantang Mundur Jadi Pilot
Sejak kecil, anak ketiga dari
empat bersaudara yang semuanya perempuan itu tergolong tomboy. Ayahnya,
John Sarodja Saleh berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah. Adapun ibunya
yang telah wafat, Johanna Sylvia Anakotta, berdarah Ambon-Belanda.
Mengikuti
penempatan kerja ayahnya, Esther dan keluarganya sering berpindah kota.
Ketika ayahnya menjabat Kepala Kantor Imigrasi di Sorong, Papua,
usianya masih lima tahun dan adiknya lahir.
Dari Sorong, mereka
lalu bermukim di Davao, Filipina, ketika ayahnya dipindahkan sebagai
staf konsulat bagian imigrasi. Hidup nomaden itu mengasah jiwa
petualangan Esther.
Suatu kali ia naik pesawat jenis Fokker.
Esther terkesan dengan cara pilot bekerja. "Kok dia tahu ya ke mana kami
pergi. Di kabin pilot terlihat banyak sekali tombolnya, apa saja
fungsinya," ujarnya. Momen itu yang melecut cita-citanya sebagai
penerbang.
Lulus SMA di Jakarta, keinginan Esther untuk menjadi
pilot sempat membuat ragu ayahnya. Curiga hanya keinginan sesaat,
ayahnya menyuruh Esther untuk melakukan tes psikologi terkait minat dan
lahan pekerjaan.
Hasil tes menyatakan Esther cocok bekerja di
urusan Hubungan Internasional. Pilihan lainnya sebagai penerbang. Toh
walaupun begitu, ayahnya masih belum rela. Ia mempersoalkan nilai lima
atau angka merah pada pelajaran matematika di buku rapor.
Keberatan
lain ayahnya soal biaya. Esther ditolak Sekolah Penerbang Curug dengan
alasan tinggi badannya yang hanya 157 sentimeter dan dari jurusan ilmu
sosial. Ia lalu mendaftar dan diterima di Sawyer School of Aviation,
Phoenix, Amerika Serikat pada 1982.
Ayahnya akhirnya luluh
setelah atasannya menyuruh agar Esther berangkat. Keinginan ayahnya agar
Esther kuliah di Fakultas Hukum pun gugur.
Di AS, awalnya ia
tinggal di sebuah apartemen kecil. Lama-lama tak sanggup bayar. Ia pun
pindah ke rumah kenalan. Esther membalasnya dengan mengasuh anak pemilik
rumah sekaligus beres-beres rumah.
Ketika duit kiriman orang tua
habis, ia disuruh pulang. Esther menolak meskipun orang tuanya cemas.
Sekolahnya terbengkalai. Ia absen selama 3-4 bulan gara-gara kehabisan
biaya.
Ia membuktikan bisa bertahan hidup dengan kerja serabutan.
Kadang ia bekerja menjadi tukang listrik, tukang pagar, dan tukang
bangunan. Hasil upahnya dikumpulkan agar bisa kembali sekolah. "Saya
jadi tidak cengeng. Kalau tidak punya uang, cari dengan bekerja,"
ujarnya.
Akhir 1982 ia pulang ke Indonesia lalu awal 1983
melanjutkan lagi sekolahnya. Selama setahun Esther mengejar
ketertinggalan pelajarannya sambil ujian lisensi dasar pilot.
Menjelang
ujian terakhir yaitu lisensi multi engine yang harus ditempuh selama
dua pekan, Esther menawar agar ujian hanya berlangsung lima hari.
Alasannya, ia telah dibelikan tiket untuk pulang ke Indonesia oleh
ayahnya pada 26 Desember.
Sempat ditolak, pihak sekolah akhirnya
memberi kesempatan asalkan Esther sanggup tes simulator sejak pagi
hingga malam hari. Ia pun pulang dengan gembira sambil menyandang
lisensi multi engine, instrument rating, instructor ground, serta
Commercial Pilot License (CPL).
Perjuangannya belum berhenti
sampai situ. Pulang ke Tanah Air, Esther sempat kesulitan mencari kerja.
Garuda Indonesia, Pelita Air, menolak lamarannya. Semua beralasan tidak
bisa menerima pilot perempuan.
Pengalaman serupa dialaminya
ketika ingin tes pilot di Departemen Perhubungan. Ketika mengajukan uji
terbang, Esther yang ketika itu berusia 21 tahun dilecehkan secara
verbal. Seorang pejabat instansi tersebut mengatakan Esther tidak cocok
jadi pilot. "Dunia penerbangan itu berat. Kamu cocoknya di dapur saja,
begitu katanya," ujar Esther.
Esther pantang mundur. Pulang ke
rumah ia menulis surat permohonan uji terbang dengan mesin tik. Paginya,
ia kembali ke Departemen Perhubungan untuk menunggu Sang Menteri,
Rusmin Nuryadin.
Berhasil bertemu langsung dengan Rusmin, Esther
langsung menyerahkan surat itu. Keduanya sempat berbincang-bincang
sebentar. Lalu, tiga hari kemudian, ia mendapat kesempatan untuk tes
pilot dengan terbang bersama di pesawat Cessna di Pangkalan Udara
Militer Kemayoran Jakarta.
Esther gembira bisa ikut melakukan
stall dan manuver. Ia dinyatakan lulus. Selesai itu lisensi pilotnya
diakui pemerintah Indonesia.
Karena pusing terus ditolak
maskapai, Esther akhirnya melamar ke PT Industri Pesawat Terbang
Nurtanio. "Saya tulis surat ke Pak Habibie pada April 1984," katanya.
Bacharuddin Jusuf Habibie saat itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi
serta Presiden Direktur PT Nurtanio.
Ia lantas diminta datang ke
Bandung. Sampai di sana, Esther baru tahu perusahaan itu ternyata pabrik
pesawat dan gudangnya ilmu penerbangan yang kemudian berganti nama
menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), lalu PT DI.
Esther
menjalani serangkaian ujian seperti kursi putar, tes psikologi, dan
penyaringan. terhitung sejak Juli ia menjadi calon karyawan. Pada 15
Oktober 1984, ia resmi diangkat sebagai karyawan. Tugas pertamanya
menjadi co-pilot Cassa 212-200.
Kariernya di sana meningkat
sebagai calon instruktur pada 1989, lalu calon kapten pada 1990. Pada
periode 1987-1995 Esther sempat menjadi pilot di Merpati Airlines.
Pada
1996 ia resmi menjadi kapten pilot. "Sejak itu saya tidak mau lagi
terbang di Merpati dan memilih menjadi kapten di PT DI," katanya.
Ketika
baru menjadi kapten pilot, ada yang menolak dan mempertanyakan
kepantasannya. "Secara tidak tertulis, ada diskriminasi, pelecehan juga
secara verbal. Tapi saya bertahan," katanya.
Untuk mencapai
posisi sebagai kapten pilot sangat sulit, butuh pengalaman terbang
ribuan jam dan berbagai lisensi yang tak mudah didapat. Sedikit sekali
perempuan bisa mencapainya. Bahkan maskapai Garuda Indonesia yang telah
terbang lebih dari 60 tahun, baru mengangkat seorang kapten pilot
perempuan pada April lalu bernama Ida Fiqriah.
Esther kini
satu-satunya pilot uji pesawat yang permanen di PT Dirgantara Indonesia.
Sebanyak 7.100 jam terbang telah ia raih. Ia menerbangkan pesawat
produksi PT DI mulai dari CN 235 hingga, tentu saja, N219.
Tahun
lalu ia baru saja lulus dari dari International Test Pilot School di
London City, Kanada. Ia pun resmi menjadi pilot tes pesawat purwarupa.
Perusahaan sekelas Boeing atau pun Airbus belum tentu memiliki seorang
pilot dari kaum Hawa yang menjadi penguji pesawat prototype.
Saat
ini Esther telah bekerja untuk PT Dirgantara Indonesia selama 33 tahun.
Ia berharap masih bisa terbang sebagai pilot uji pesawat hingga 20
tahun ke depan. Beberapa pabrik pesawat di luar negeri masih menggunakan
pilot uji berumur 72-75 tahun.
"Saya tidak ada persiapan
pensiun. Kalau Tuhan kasih izin, mungkin sampai usia 75 tahun saya masih
terbang. I don't know," kata dia.
(Beritagar.id/d)