Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 15 Juni 2025

Kapten Esther, Pendobrak Stereotip Pilot

- Minggu, 05 November 2017 16:48 WIB
966 view
Kapten Esther, Pendobrak Stereotip Pilot
Kapten Esther
Esther Gayatri Saleh, 54 tahun, baru mendarat di landasan Bandara Husein Sastranegara, Bandung, sekitar pukul 09.00 WIB. Ia keluar dari pintu kiri kabin pilot sambil menggendong tas parasut berwarna biru tua, senada dengan pakaiannya.

Perempuan mungil itu baru saja menerbangkan pesawat purwarupa (prototype) N219 buatan PT Dirgantara Indonesia (PT DI), Sabtu (16/9/17). Selama satu jam ia berputar-putar hingga ketinggian delapan ribu kaki dari daratan di atas daerah Batujajar dan Waduk Saguling, Kabupaten Bandung Barat.

"Jarak maksimal terbang radiusnya 20 mil dari sini," katanya di hanggar N219 PT DI, Bandung, Jawa Barat.

Itu penerbangan N219 yang keempat kalinya. Setelah terbang perdana yang mendebarkan pada 16 Agustus 2017 lalu, Esther mengujinya lagi pada 23 Agustus dan 15 September lalu.

Pesawat purwarupa itu harus berkali-kali terbang hingga meraih sertifikat laik terbang (Certificate of Airworthiness) dari Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan.

Paling tidak uji terbangnya hingga 300 jam. "Bisa saja mungkin kurang dari 300 jam sudah disertifikasi. Ini perjalanan yang masih panjang dan butuh waktu yang intensif untuk analisa," ujar perempuan kelahiran Palembang, Sumatera Selatan,  3 September 1962 itu.

Terbang dengan pesawat purwarupa, Esther belum banyak tahu soal hasil rancangan pesawat ketika di angkasa. Di atas kertas bisa jauh berbeda dengan kenyataannya.

Sampai menjelang terbang perdana, masih ada pertanyaan dalam benak Esther. Apakah N219 bisa terbang atau tidak dan bagaimana perilaku 'bayi' itu di angkasa?

Di sisi lain, penerbangan pesawat purwarupa di dunia kini sudah langka. "Karena mengembangkan pesawat prototype itu mahal, dan evolusinya lama, bisa satu atau tiga tahun tes. Risiko saat terbang perdana adalah nyawa kami," ujarnya.

Esther dan seorang co-pilot yang duduk di samping kanannya, seperti pengasuh yang membimbing bayi belajar berjalan. Sesuai prosedur penerbangan pesawat purwarupa, prosesnya harus dimulai pelan-pelan, bertahap, dan terbatas, seperti kecepatan, ketinggian, dan radius jelajah pesawat.

Berbeda dengan pesawat produksi, pesawat purwarupa tidak memiliki buku petunjuk. Justru tujuan penerbangannya adalah mengumpulkan data, memperbaiki kekurangan, dan mengenali perilaku pesawat.

"Itu luar biasa. Kehormatan bagi saya Direktur Utama (Elfien Guntoro) mempercayakan tes penerbangan kepada saya," kata mantan pilot Merpati Nusantara Airlines periode 1987-1995 itu.

Setiap selesai menerbangkan N219, Esther mengendurkan otot dan syarafnya dengan berenang di suatu hotel. Sementara para teknisi dan penganalisis data menindaklanjuti laporan Esther dan instrumen pengumpul data untuk memperbaiki kekurangan. Pesawat selanjutnya tidak akan diterbangkan kalau belum siap.

Pesawat yang diproduksi bersama PT Dirgantara Indonesia dengan Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional itu merupakan 'bayi' asli Indonesia yang proses kelahirannya ditangani sepenuhnya oleh perekayasa teknologi (engineer) dan teknisi lokal.

Dikembangkan sejak 2006, N219 yang sekelas dengan pesawat Twin Otter itu dirancang sebagai pesawat multiguna. Ia bisa dipakai untuk armada militer maupun angkutan sipil. Sepanjang ada landasan 600 meter, N219 bisa berfungsi sebagai pesawat kargo.

Pantang Mundur Jadi Pilot
Sejak kecil, anak ketiga dari empat bersaudara yang semuanya perempuan itu tergolong tomboy. Ayahnya, John Sarodja Saleh berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah. Adapun ibunya yang telah wafat, Johanna Sylvia Anakotta, berdarah Ambon-Belanda.

Mengikuti penempatan kerja ayahnya, Esther dan keluarganya sering berpindah kota. Ketika ayahnya menjabat Kepala Kantor Imigrasi di Sorong, Papua, usianya masih lima tahun dan adiknya lahir.

Dari Sorong, mereka lalu bermukim di Davao, Filipina, ketika ayahnya dipindahkan sebagai staf konsulat bagian imigrasi. Hidup nomaden itu mengasah jiwa petualangan Esther.

Suatu kali ia naik pesawat jenis Fokker. Esther terkesan dengan cara pilot bekerja. "Kok dia tahu ya ke mana kami pergi. Di kabin pilot terlihat banyak sekali tombolnya, apa saja fungsinya," ujarnya. Momen itu yang melecut cita-citanya sebagai penerbang.

Lulus SMA di Jakarta, keinginan Esther untuk menjadi pilot sempat membuat ragu ayahnya. Curiga hanya keinginan sesaat, ayahnya menyuruh Esther untuk melakukan tes psikologi terkait minat dan lahan pekerjaan.

Hasil tes menyatakan Esther cocok bekerja di urusan Hubungan Internasional. Pilihan lainnya sebagai penerbang. Toh walaupun begitu, ayahnya masih belum rela. Ia mempersoalkan nilai lima atau angka merah pada pelajaran matematika di buku rapor.

Keberatan lain ayahnya soal biaya. Esther ditolak Sekolah Penerbang Curug dengan alasan tinggi badannya yang hanya 157 sentimeter dan dari jurusan ilmu sosial. Ia lalu mendaftar dan diterima di Sawyer School of Aviation, Phoenix, Amerika Serikat pada 1982.

Ayahnya akhirnya luluh setelah atasannya menyuruh agar Esther berangkat. Keinginan ayahnya agar Esther kuliah di Fakultas Hukum pun gugur.

Di AS, awalnya ia tinggal di sebuah apartemen kecil. Lama-lama tak sanggup bayar. Ia pun pindah ke rumah kenalan. Esther membalasnya dengan mengasuh anak pemilik rumah sekaligus beres-beres rumah.

Ketika duit kiriman orang tua habis, ia disuruh pulang. Esther menolak meskipun orang tuanya cemas. Sekolahnya terbengkalai. Ia absen selama 3-4 bulan gara-gara kehabisan biaya.

Ia membuktikan bisa bertahan hidup dengan kerja serabutan. Kadang ia bekerja menjadi tukang listrik, tukang pagar, dan tukang bangunan. Hasil upahnya dikumpulkan agar bisa kembali sekolah. "Saya jadi tidak cengeng. Kalau tidak punya uang, cari dengan bekerja," ujarnya.

Akhir 1982 ia pulang ke Indonesia lalu awal 1983 melanjutkan lagi sekolahnya. Selama setahun Esther mengejar ketertinggalan pelajarannya sambil ujian lisensi dasar pilot.

Menjelang ujian terakhir yaitu lisensi multi engine yang harus ditempuh selama dua pekan, Esther menawar agar ujian hanya berlangsung lima hari. Alasannya, ia telah dibelikan tiket untuk pulang ke Indonesia oleh ayahnya pada 26 Desember.

Sempat ditolak, pihak sekolah akhirnya memberi kesempatan asalkan Esther sanggup tes simulator sejak pagi hingga malam hari. Ia pun pulang dengan gembira sambil menyandang lisensi multi engine, instrument rating, instructor ground, serta Commercial Pilot License (CPL).

Perjuangannya belum berhenti sampai situ. Pulang ke Tanah Air, Esther sempat kesulitan mencari kerja. Garuda Indonesia, Pelita Air, menolak lamarannya. Semua beralasan tidak bisa menerima pilot perempuan.

Pengalaman serupa dialaminya ketika ingin tes pilot di Departemen Perhubungan. Ketika mengajukan uji terbang, Esther yang ketika itu berusia 21 tahun dilecehkan secara verbal. Seorang pejabat instansi tersebut mengatakan Esther tidak cocok jadi pilot. "Dunia penerbangan itu berat. Kamu cocoknya di dapur saja, begitu katanya," ujar Esther.

Esther pantang mundur. Pulang ke rumah ia menulis surat permohonan uji terbang dengan mesin tik. Paginya, ia kembali ke Departemen Perhubungan untuk menunggu Sang Menteri, Rusmin Nuryadin.

Berhasil bertemu langsung dengan Rusmin, Esther langsung menyerahkan surat itu. Keduanya sempat berbincang-bincang sebentar. Lalu, tiga hari kemudian, ia mendapat kesempatan untuk tes pilot dengan terbang bersama di pesawat Cessna di Pangkalan Udara Militer Kemayoran Jakarta.

Esther gembira bisa ikut melakukan stall dan manuver. Ia dinyatakan lulus. Selesai itu lisensi pilotnya diakui pemerintah Indonesia.

Karena pusing terus ditolak maskapai, Esther akhirnya melamar ke PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio. "Saya tulis surat ke Pak Habibie pada April 1984," katanya. Bacharuddin Jusuf Habibie saat itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi serta Presiden Direktur PT Nurtanio.

Ia lantas diminta datang ke Bandung. Sampai di sana, Esther baru tahu perusahaan itu ternyata pabrik pesawat dan gudangnya ilmu penerbangan yang kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), lalu PT DI.

Esther menjalani serangkaian ujian seperti kursi putar, tes psikologi, dan penyaringan. terhitung sejak Juli ia menjadi calon karyawan. Pada 15 Oktober 1984, ia resmi diangkat sebagai karyawan. Tugas pertamanya menjadi co-pilot Cassa 212-200.

Kariernya di sana meningkat sebagai calon instruktur pada 1989, lalu calon kapten pada 1990. Pada periode 1987-1995 Esther sempat menjadi pilot di Merpati Airlines.

Pada 1996 ia resmi menjadi kapten pilot. "Sejak itu saya tidak mau lagi terbang di Merpati dan memilih menjadi kapten di PT DI," katanya.

Ketika baru menjadi kapten pilot, ada yang menolak dan mempertanyakan kepantasannya. "Secara tidak tertulis, ada diskriminasi, pelecehan juga secara verbal. Tapi saya bertahan," katanya.

Untuk mencapai posisi sebagai kapten pilot sangat sulit, butuh pengalaman terbang ribuan jam dan berbagai lisensi yang tak mudah didapat. Sedikit sekali perempuan bisa mencapainya. Bahkan maskapai Garuda Indonesia yang telah terbang lebih dari 60 tahun, baru mengangkat seorang kapten pilot perempuan pada April lalu bernama Ida Fiqriah.

Esther kini satu-satunya pilot uji pesawat yang permanen di PT Dirgantara Indonesia. Sebanyak 7.100 jam terbang telah ia raih. Ia menerbangkan pesawat produksi PT DI mulai dari CN 235 hingga, tentu saja, N219.

Tahun lalu ia baru saja lulus dari dari International Test Pilot School di London City, Kanada. Ia pun resmi menjadi pilot tes pesawat purwarupa. Perusahaan sekelas Boeing atau pun Airbus belum tentu memiliki seorang pilot dari kaum Hawa yang menjadi penguji pesawat prototype.

Saat ini Esther telah bekerja untuk PT Dirgantara Indonesia selama 33 tahun. Ia berharap masih bisa terbang sebagai pilot uji pesawat hingga 20 tahun ke depan. Beberapa pabrik pesawat di luar negeri masih menggunakan pilot uji berumur 72-75 tahun.

"Saya tidak ada persiapan pensiun. Kalau Tuhan kasih izin, mungkin sampai usia 75 tahun saya masih terbang. I don't know," kata dia. (Beritagar.id/d)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru