Kamis, 01 Mei 2025
Sikapi Aksi 411 dan Rencana Reuni 212

PBNU: Setop Politik Identitas !

Bermain Identitas Agama Berarti Menggiring Perpecahan
Redaksi - Minggu, 06 November 2022 08:49 WIB
456 view
PBNU: Setop Politik Identitas !
Foto : Istimewa
Yahya Cholil Staquf dan Rahmat Hidayat Pulungan
Jakarta (SIB)

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengimbau seluruh pihak menghentikan upaya menggunakan agama demi kepentingan politik sesaat. Pernyataan itu disampaikan guna menyikapi Aksi 411 Jumat (4/11) dan rencana Reuni 212.

Wasekjen PBNU Rahmat Hidayat Pulungan mengatakan, menggunakan agama demi kepentingan politik sesaat tidak ada manfaatnya. Menurutnya, hal itu hanya akan merugikan Indonesia sebagai bangsa dan negara.

"Untuk semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung, kita minta untuk menghentikan semua gerakan yang memecah belah kesatuan bangsa. Kedepankan politik gagasan, setop politik identitas," kata Wasekjen PBNU Rahmat Hidayat Pulungan dalam keterangannya, Sabtu (5/11).

Menurutnya, politik identitas adalah aksi pembodohan kepada masyarakat. Merawat dendam hanya membuat bangsa ini kehilangan energi positifnya.

"Kita perlu persatuan. Kebersamaan akan membuat kita kuat sebagai bangsa," katanya.

Rahmat mengatakan, bangsa yang besar akan mewarisi nilai-nilai kebaikan untuk generasi mudanya, bukan menanamkan energi negatif. Politik identitas adalah kejahatan politik yang pada akhirnya menjadi kejahatan kemanusiaan.

"Kita sebagai umat Islam harus ingat kaidah ushul fiqih yang selalu digunakan para ulama terdahulu kita yang telah bersusah payah membangun republik ini. Dar'ul mafasid, muqoddamun ala jalbi al masalih, bahwa 'Mencegah kerusakan lebih utama daripada mendatangkan kemaslahatan'," ujarnya.

Rahmat meminta semua pihak untuk dewasa dalam menyikapi dinamika sosial yang terjadi. "Politik identitas fakta sejarahnya hanya memecah belah bangsa dan rakyat, maka mencegahnya adalah keharusan bagi kita semua," tuturnya.



Menggiring Perpecahan

Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf mendorong demokrasi yang lebih rasional yang bersandar pada kualitas pribadi-pribadi yang terlibat dalam politik. Demokrasi rasional juga bukan bersandar pada latar belakang identitas suku, agama, jenis kelamin, atau yang lain, tetapi lebih mengedepankan gagasan, kredibilitas, rekam jejak (trackrecord), dan lain sebagainya.

"Jadi tidak bisa kita: "Walaupun koruptor kalau Islam kan nanti masuk surga juga," misalnya, itu sesuatu yang tidak relevan untuk dikembangkan di dalam demokrasi kita," ungkapnya, memberi tamsil.

Pria yang akrab disapa Gus Yahya itu pun mengingatkan agar para aktor politik tidak memakai politik identitas, terutama identitas agama, sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan. "Kita harus ingatkan para aktor politik ini, bahwa bermain-main dengan identitas agama, itu sama saja menggiring bangsa ini ke dalam perpecahan," ajaknya dalam tayangan Satu Meja di Kompas TV, Kamis (3/11).

"Selama identitas agama dijadikan senjata politik, sembuhnya akan lama," imbuh Gus Yahya dalam acara yang dipandu jurnalis senior Budiman Tanuredjo. [br]




Alumnus Pesantren Krapyak, Yogyakarta, itu mengatakan dampak dari pemilu lalu yang terjadi pembelahan identitas masih sangat terasa di tingkat basis. Menurutnya, ini harus kita sembuhkan dengan tidak membuat luka lagi dan bangsa ini tidak terbelah-belah lagi dari identitas yang satu ke identitas yang lain.

Gus Yahya juga berpesan agar para aktor politik dapat lebih bertanggung jawab untuk masa depan. Apa pun yang mereka putuskan hari ini, strategi yang mereka pilih maupun visi politik yang mereka canangkan, lanjutnya, akan menentukan bangsa dan negara ini.

"Saya minta semua aktor politik ini lebih bertanggung jawab dengan mengingat didirikannya bangsa dan negara ini. Karena apa yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia ini sebetulnya bukan hanya bergarga untuk diri kita sendiri, tetapi ini bisa sebagai sumbangan yang bernilai tinggi bagi seluruh kontruksi peradaban dunia ke depan," ungkap Juru bicara Presiden Ke-4 Indonesia KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Lebih lanjut, inisiator Forum Religion of Twenty (R20) itu mencontohkan, Indonesia sudah punya Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Jika dilihat dari semua negara yang ada, menurut Gus Yahya tidak ada konstitusi yang seperti Undang-Undang Dasar 1945 yang visinya memang visi peradaban dunia: 'Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa'.

"Itu kan visi tentang peradaban dunia, bukan hanya untuk Indonesia. Nah, ini jangan sampai kita rusak begitu saja, hanya demi mendapat kursi kekuasaan," pungkasnya. (detikcom/NUOnline/c)





Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru