Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Rabu, 21 Mei 2025

Fitnah Dalam Kehidupan

Oleh: Upa.Vijaya Rudiyanto Tanwijaya
- Sabtu, 19 September 2015 14:11 WIB
3.115 view
Fitnah Dalam Kehidupan
Seorang teman menjumpai saya. Ia kelihatan lesu. Setelah diselidiki dan diajak bicara dari hati ke hati, barulah dia mengaku. Dia tertekan karena ia tengah difitnah oleh rekan satu bisnisnya. Padahal ia tidak melakukan sebagaimana apa yang dituduhkan kepadanya. Ia merasa, sudah bekerja demikian baik dan penuh tanggungjawab, justru tega diperlakukan seperti itu.

Saya memaklumi kondisi teman tersebut. Ketika kita menerima pujian, tentunya perasaan senang akan menyergap hati kita. Sebaliknya jika kita menerima hinaan ataupun kritik bahkan fitnah, maka kita menjadi begitu terluka. Bahkan ada yang sampai tega mengakhiri hidupnya. Begitulah realita kehidupan. 

Guru Agung Buddha Sakyamuni, dalam kitab Anguttara Nikaya, menjelaskan bahwa terdapat delapan kondisi dunia yang dialami oleh setiap orang tanpa terkecuali, yaitu untung-rugi, dihormati-tak terhormat, dipuji-dicela, serta suka-duka.  Jadi dua sisi kehidupan itu memang selalu ada kapan pun. Ini semacam hukum alam yang berlaku universal.

Lantas, jika demikian, mengapa kita begitu memusingkan soal pujian dan celaan/fitnahan, yang merupakan sebuah keniscayaan yang kita alami dalam kehidupan singkat ini?

Buddha sebagai Guru Agung nan Sempurna sendiri pun tidak luput dari delapan kondisi ini. Dalam kisah yang sangat terkenal, Buddha pernah difitnah menghamili seorang wanita bernama Cinca. Akibatnya masyarakat mengecam hebat Buddha dan kelompok siswa-Nya. Ananda, siswa Buddha, sampai tidak tahan dan memohon agar mereka pindah ke daerah lain saja, agar terhindar dari kecaman tersebut. Buddha menjawab tenang, "Bersabarlah, karena semua cercaan itu akan berakhir dengan sendirinya." Dalam kisah tersebut dijelaskan akhirnya ketahuan bahwa Cinca berbohong dan ia kemudian mati akibat kebohongannya tersebut.

Teman yang mendengar kisah ini kemudian bertanya, mengapa Buddha bisa mengalami fitnahan seperti ini?

Kisah ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa sekalipun Buddha, namun karena Ia terlahir di alam manusia, yang tak luput dari delapan kondisi dunia, maka proses ini juga tak bisa terelakkan. Bukan soal mengapa Beliau mengalami, tapi yang terpenting untuk kita renungkan adalah betapa Buddha tidak tergoyahkan dengan fitnahan tersebut. Ia tegar, sabar dan tidak kehilangan cinta kasih-Nya ketika menghadapi semua itu. Ia tidak membenci Cinca. Ia dengan tenang dan penuh  damai menjalani fitnahan tersebut dengan Kesadaran Agung-Nya. 

Sikap ini yang harus kita teladani. Manusia, sering galau atau emosi ketika mengalami delapan kondisi dunia. Secara teoritis kita mungkin tahu tapi secara mental kita tidak siap. Kita  terbiasa hidup dalam kondisi yang kita inginkan saja. Kita tidak nyaman dengan kondisi kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan kita.  Jika tidak sesuai, kita spontan menolak. Inilah awal masalah kehidupan.

Tak ada yang bebas dualitas dalam kehidupan ini. Tapi walaupun demikian, kita bisa melatih diri agar batin kita tidak terbiasa untuk terjebak dalam dua kondisi bagai sisi uang tersebut. Cara yang paling sederhana, pandanglah kehidupan ini secara apa adanya dengan segala sisi baik buruknya.

Kehidupan saat ini sudah demikian kacau. Begitu mudah manusia mencetuskan celaan, fitnahan, makian, ataupun gosip yang sesungguhnya bagian dari ucapan yang tak bermanfaat, sehingga merugikan orang lain. Lantas, kalau kita mengalami hal ini, apakah kita harus berteriak keras untuk membantahnya? Apakah ini bermanfaat? Apakah ini akan benar-benar mengatasi masalah?

Bersabarlah. Sebagaimana Buddha sabar ketika menghadapi kelakuan Cinca. Kejadian tersebut justru makin mengagungkan Kebesaran dan Keagungan Buddha sebagai Guru Kebenaran nan Sempurna. Waktu akan membuktikan kebenaran, demikian pesan Buddha kepada Ananda.  Sebagaimana pesan-Nya:
 "Janganlah menghiraukan omongan orang lain yang menyakitkan. Jangan pula mengawasi-awasi tugas yang telah maupun belum dikerjakan orang lain. Hendaknya, memperhatikan apa yang telah dan belum dikerjakan oleh diri sendiri." (Dhammapada IV, Puppha Vagga 50).

Intinya, jadikan semua hal yang kita alami sebagai pembelajaran bagi kita sendiri. Yakinlah, pengalaman getir akan membuahkan kebijaksanaan. Kelak, semua itu akan mendewasakan diri kita, baik secara mental duniawi maupun spiritual. Ini hanya masalah waktu saja. (*) Penulis adalah Pengurus Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Sumut/f)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru