Data KPK menunjukkan terdapat 78 orang kepala daerah sejak 2004 sampai sekarang yang tersangkut korupsi dengan modus kasus terbesar adalah penyuapan. Survey Transparansi Internasional Indonesia (TII) pada tahun 2017 menunjukkan 17% pelaku usaha pernah gagal dalam mendapatkan keuntungan karena pesaing memberikan suap. Sektor paling rawan korupsi yaitu penyusunan anggaran, pajak dan retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, hibah dan bansos dan perjalan dinas serta sektor perizinan.
Dari segi perangkat daerah, peluang korupsi tertinggi ada di sektor Pertambangan dan Energi, Perhubungan dan Tata Ruang. Masih maraknya praktek korupsi menyebabkan terjadinya perlambatan pembangunan daerah. Hal ini disebabkan oleh pengawasan internal yang tidak berjalan efektif. Seharusnya Inspektorat Daerah sebagai pengawasan yang paling dekat dengan sumber masalah, dapat meminimalisir atau memitigasi terjadinya penyimpangan yang ada di daerah.
Birokrasi pemerintahan secara internal diawasi oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) pada setiap level. Berdasarkan PP No. 60 Tahun 2008 Tentang Sitem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) menempatkan BPKP sebagai APIP yang bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden, sedangkan Inspektorat Jenderal/Inspektorat bertanggung jawab langsung kepada pimpinan Kementerian/ Lembaga. Pemerintah daerah sebagai wakil dari Pemerintah Pusat di daerah memiliki APIP yaitu Inspektorat Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Secara struktur kelembagaan, APIP seharusnya cukup efektif menjalankan peran pengawasan, mengingat mereka sudah didukung dengan piranti struktur organisasi yang baku. Namun yang menjadi pemikiran, mengapa pengawasan internal sebagai penyumpang pengawasan secara menyeluruh belum optimal dengan masih terdapat banyak kasus korupsi dan OTT beberapa kepala daerah di Indonesia. Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya memang terdapat perbaikan opini namun masih jauh dari target yang telah ditetapkan.
Makin maraknya pejabat menyalahgunakan jabatannya merupakan bukti nyata lemahnya integritas individu, integritas institusi dan integritas hubungan antar institusi. Berbagai sistem dan regulasi yang sifatnya pencegahan telah banyak disusun, namun hasilnya masih jauh dari harapan.
Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab belum optimalnya hasil pengawasan internal antara lain, pertama, belum adanya Undang-Undang Sistem Pengawasan Internal yang memayungi pola kerja APIP secara holistis, mekanisme koordinasi dan sinergi antara APIP, termasuk pola hubungan dengan auditor eksternal (BPK). Undang-Undang Sistem Pengawasan Internal diperlukan untuk meningkatkan kinerja masing-masing APIP maupun APIP secara keseluruhan sebagai internal auditor pemerintah.
Kedua, selain payung Undang-Undang, revitalisasi pengawasan internal belum dilakukan secara optimal, mencakup seluruh aspek baik unsur SDM APIP, sarana dan prasarana, metode dan pola kerja APIP, dukungan dana yang cukup, baik anggaran pengawasan maupun anggaran untuk kesejahteraan APIP serta dukungan sistem informasi yang berbasis IT.
SDM APIP yang belum optimal, baik aspek kompetensi maupun integritasnya memunculkan masalah besar dalam pelaksanaan pemeriksaan. Mengingat posisi, peran dan tanggung jawab APIP yang cukup berat dikaitkan dengan "godaan" yang cukup besar pula, maka wajar jika SDM APIP harus diberikan remunerasi yang kompetitif. Demikian pula revitalisasi aspek dukungan informasi dan teknologi yang belum optimal mengakibatkan data-data pengawasan internal seperti misalnya data tindak lanjut, temua dan saldo temuan tidak terkelola dengan baik.
Ketiga, komitmen dan dukungan pimpinan terhadap pengawasan internal dan APIP masih belum optimal. Hal ini terlihat dari beberapa pimpinan, baik pimpinan Kementerian/Lembaga dan pimpinan kepala daerah banyak yang tersangkut dengan kasus korupsi dan harus berurusan dengan KPK. Terdapat dua kemungkinan atas kondisi ini, pimpinan yang mengabaikan peringatan dari APIP atau APIP yang tidak berfungsi secara optimal menjadi peringatan dini bagi pimpinan. Jika kemungkinan kedua yang terjadi, yakni APIP tidak memiliki perform yang mumpuni dapat diatasi dengan mengganti pimpinan APIP yang tidak berkinerja dengan baik atau tidak dapat meningkatkan kompetensi APIP.
Untuk mengingkatkan pengawasan internal maka pemerintah bertanggungjawab menciptakan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) yang handal sebagaimana diamanahkan dalam pasal 58 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Amanah tersebut sudah dijabarkan dalam PP No. 60 tentang SPIP. SPIP yang merupakan jiwa dari pengawasan internal perlu diimpelemntasikan secara menyeluruh pada birokrasi pemerintahan bersamaan dengan transformasi pengawasan internal.
Undang-Undang Sistem Pengawasan Internal perlu dibuat untuk memperkuat peran pengawasan internal dalam mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan pemerintahan serta memasikan misi pemerintah tercapai serta efektif, efisien dan ekonomis. Undang-Undang ini merupakan sebuah milestone yang strategis bagi perjalanan sejarah pengawasan internal di pemerintahan Indonesia.
Undang-Undang Sistem Pengawasan Internal menjadi landasan hukum bagi APIP dalam perannya mengawal dan memasikan target-target rencana pembangunan tercapai. Butir yang perlu dimasukkan dalam Undang-Undang Sistem Pengawasan Internal antara lain transformasi pengawasan internal, baik aspek kelembagaan, SDM maupun proses bisnis.
Terkait kelembagaan, transformasi pengawasan internal adalah pemberdayaan APIP dalam bingkai sistem kabinet presidential antara lain melalui peningkatan struktur kelembagaan APIP. Selain itu perlu dilakukan revitalisasi aspek SDM, yakni APIP harus terus meningkatkan kompetensi SDM melalui sistem penilaian, sertifikasi dan pengembangan profesi.
Selain itu perlu adanya restrukturisasi APIP dan seharusnya pengawas internal berdiri secara independen. Pengawas internal pemerintah tidak boleh sejajar dengan lembaga yang diawasi. Misalnya saja saat ini Inspektur kabupaten diangkat oleh Bupati. "Ini yang membuat Inspektorat yang merupakan pengawas internal terlihat canggung dan tidak independen dalam melakukan pemeriksaan.
Belum lagi aparat pengawas internal dinilai masih kurang profesional. Ini karena para pengawas memiliki latar belakang yang tidak sesuai sehingga integritas, kompetensi, dan komitmen menjadi lemah. Selain itu juga sistem pengawasan internal dinilai lemah karena tidak jelas pembagian tugas antar lembaga dan pengawas.
Ada baiknya Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) digabungkan dengan Inspektorat di tingkat Kabupaten/Kota, Inspektorat Wilayah di tingkat Provinsi dan Inspektorat Jenderal. Dengan penggabungan tersebut, akan diperoleh dua keuntungan yakni akan didapat orang-orang yang lebih kompeten karena menguasai audit kinerja. Kedua, akan diperoleh orang-orang yang independen karena tidak sepenuhnya di bawah lembaga pemerintahan.
Kesimpulannya, pengawasan internal di Indonesia masih belum optimal, sehingga perlu dikuatkan sesuai khitah dan peran APIP agar seluruh pimpinan Kementarian/Lembaga dan Pemerintah Daerah tenang dan nyaman mengemban amanah mulia untuk mensejahterakan masyarakat, tanpa ada ketakutan dan kegamangan dalam bekerja serta tidak perlu takut akan berhadapan dengan aparat penegak hukum, jika pengawasan internal yang dilakukan sudah optimal. (c)