Jakarta (SIB)
Dibentuknya ketentuan hukuman terpidana mati dalam KUHP baru dikaitkan dengan kasus Ferdy Sambo. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyebut aturan tersebut dibuat sebelum adanya kasus Sambo.
"Orang berasumsi orang berprasangka buruk boleh-boleh saja silahkan itu urusan mereka sendiri. Tapi, saya ingin menegaskan bahwa pemikiran konstruksi Pasal 100 itu bukan yang tiba-tiba turun dari langit, tapi sudah dari 10 tahun yang lalu dan ini sebagai suatu jalan tengah," ujar Eddy Hiariej, sapaan dia, dalam video keterangan pers dari Kementerian Hukum dan HAM, Rabu (15/2).
Profesor dari UGM ini menyebut aturan soal hukuman mati di KUHP baru itu sebagai cara Indonesia mencari jalan tengah bagi pindana mati. Jalan tengah itu berada di antara paham yang ingin mempertahankan pidana mati dan paham yang ingin menghapus pidana mati.
Eddy Hiariej mengatakan KUHP versi baru mengatur bahwa pidana mati bukan sebagai pidana pokok melainkan pidana khusus. Pidana mati dijatuhkan dengan selektif dan percobaan 10 tahun.
"Akhirnya pemerintah dan DPR memutuskan pidana mati bukan lagi pidana pokok tapi pidana khusus. Apa kekhususannya? dia dijatuhkan hakim sangat selektif, dua dijatuhkan dengan percobaan 10 tahun inilah kekhususannya," tuturnya.
Ia menyebut diberikannya percobaan 10 tahun agar sesuai dengan visi reintegrasi sosial. Sebab diharapkan ada perubahan setelah mendapatkan pembinaan dan bisa kembali diterima oleh masyarakat.
"Diharapkan ketika dia dijatuhi sanksi dia menjalani sanksi sembari mendapat pembinaan dari teman-teman di pemasyarakatan dia akan kembali menjadi baik, jadi reintegrasi sosial, dia akan bisa diterima oleh masyarakat dia tidak akan mengulangi perbuatan pidanannya dan bisa bermanfaat bagi masyarakat," tuturnya.
"Kalau pidana mati seketika dieksekusi lalu bagaimana dengan visi reintegrasi sosial itu, tidak tercapai artinya jangan sampai kita memformulasikan pasal-pasal dalam suatu UU itu bertentangan dengan visinya. Jadi mengapa kita ada masa percobaan 10 tahun ya sesuai dengan visi reintegrasi sosial, artinya ketika hakim menjatuhkan pidana mati selalu dibarengkan dengan alternatif percobaan 10 tahun," sambungnya.
Gila Aja
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga angkat bicara soal isu penerapan pasal hukuman mati di KUHP baru, salah satunya demi menguntungkan Ferdy Sambo. Isu itu langsung ditepis keras oleh Yasonna.
"Aduh, itu dibahas jauh sebelum ini. Jadi itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, pelaksanaan hukuman mati itu tidak absolut. Jadi harus ada kesempatan," kata Yasonna saat ditemui di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (16/2).
Yasonna mengatakan pembahasan pasal hukuman mati di KUHP baru telah dilakukan sejak lama. Dia mengaku heran pasal tersebut dibuat sebagai langkah untuk menguntungkan Ferdy Sambo di kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat.
"Jadi bukan berarti ini, jauh sebelum Sambo sudah dibahas. Gila aja cara berpikirnya, udah aneh-aneh aja," katanya.
Ada di RKUHP
Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud Md menjelaskan adanya aturan soal hukuman mati bisa diubah menjadi penjara seumur hidup sudah ada dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), jauh sebelum kasus Ferdy Sambo. Mahfud mengatakan draf tersebut disepakati bertahun-tahun lalu.
"Ini seperti fitnah kepada Mendagri dan Wamenkum-HAM. Nyatanya, draf isi RKUHP bahwa hukuman mati bisa diubah seumur hidup sudah disepakati bertahun-tahun sebelum ada kasus Sambo," kata Mahfud melalui akun Twitternya @mohmahfudmd, Kamis (16/2).
Penjelasan ini ditulis Mahfud saat mengomentari video yang menarasikan hukuman mati diubah menjadi seumur hidup ketika Ferdy Sambo mau dihukum mati. Mahfud lalu menerangkan KUHP baru berlaku tiga tahun lagi.
"Lagipula RKUHP baru berlaku 3 tahun lagi. Dan menurut RKUHP itu, perubahan hukuman harus ada dalam vonis hakim. Di vonis tidak ada kok," tuturnya. (detikcom/a)