Jakarta (SIB)
Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan mengakui memberikan uang Rp 27 miliar kepada seseorang bernama Dito Ariotedjo. Dia menyebut uang itu diberikan untuk mengamankan perkara kasus korupsi BTS 4G Kominfo.
Hal itu diungkap Irwan saat menjadi saksi mahkota di kasus korupsi BTS Kominfo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (26/9). Duduk sebagai terdakwa mantan Menkominfo Johnny G Plate, mantan Dirut Bakti Kominfo Anang Achmad Latif, dan Yohan Suryanto.
Mulanya, hakim ketua Fahzal Hendri mencecar Irwan terkait pengeluaran dana yang dilakukan untuk mengamankan kasus BTS. Irwan, yang juga merupakan terdakwa kasus korupsi BTS 4G, menjawab ada beberapa yang dia berikan, terakhir dengan jumlah Rp 27 miliar.
"Ada lagi, Pak?" tanya hakim.
"Ada lagi," jawab Irwan.
"Ada untuk nutup (kasus) juga?" tanya hakim.
"Berapa?" tanya hakim.
"Rp 27 miliar," jawab Irwan.
Irwan mengatakan uang itu dititipkan kepada anak buah Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera, Windi Purnama, Resi. Uang itu, kata Irwan kemudian diserahkan ke seseorang bernama Dito Ariotedjo.
"Siapa itu?" tanya hakim.
"Pada saat itu saya tidak menyerahkan langsung. Saya titip ke teman, namanya Resi, lewat Windi juga," ungkap Irwan.
"Titip sama siapa?" tanya hakim.
"Yang terakhir namanya Dito," jawab Irwan.
"Dito apa?" tanya hakim.
"Pada saat itu saya tahunya namanya Dito," ujar Irwan.
"Dito apa, Pak? Dito tuh macam-macam," timpal hakim.
"Belakangan saya ketahui namanya Dito Ariotedjo," ungkap Irwan.
Irwan juga mengaku pernah bertemu dengan Dito di Jalan Denpasar. Pertemuan itu juga bersama Resi.
"Tadi saudara bilang saudara ketemu tidak sama orang yang bernama Dito?" tanya hakim.
"Saya pernah bertemu sekali di rumahnya di Jalan Denpasar, tapi saya tidak banyak ngobrol," kata Irwan.
Kemudian, kata Irwan, setelah uang itu diserahkan, kemudian dikembalikan oleh seseorang bernama Suryo kepada pengacaranya, Maqdir Ismail. Uang itu, kata Irwan, sudah diserahkan oleh Maqdir ke penyidik Kejaksaan Agung.
"Siapa yang menyerahkan kemarin itu pada tahap penyidikan?" tanya hakim.
"Pengacara saya, Yang Mulia," jawab Irwan.
"Siapa nama pengacara Saudara?" tanya hakim.
"Pak Maqdir," jawab Irwan.
"Ini uang diantar ke kantornya dia kan?"
"Iya."
"Siapa yang nganter?" tanya hakim.
"Saya tidak tahu, Yang Mulia. Menurut cerita, mereka ada orang namanya Suryo," kata Irwan.
Mengalir ke Komisi I DPR
Irwan Hermawan juga buka-bukaan di sidang lanjutan tersebut.
Dalam perkara ini Irwan disebut mengumpulkan uang dari rekanan-rekanan proyek BTS untuk kemudian dialirkan ke berbagai pihak untuk kepentingan tertentu.
Dalam lanjutan sidang itu, Irwan tiba-tiba hendak buka-bukaan. Apa katanya di hadapan majelis hakim?
"Saya mau menyampaikan sebelumnya ada pemberian yang saya sebelumnya selama diperiksa itu saya belum berani untuk berbicara, Yang Mulia, karena pada saat itu saya takut, Yang Mulia, untuk berbicara karena di antara yang menerima itu sepertinya orang-orang kuat dan punya pengaruh sehingga saya sampai bulan Mei (2023) saya belum buka," ucap Irwan.
"Sering istri saya sendiri di rumah sering orang tidak dikenal datang ke rumah beberapa kali. Terus ada juga teror nonfisik ke rumah," terang Irwan menambahkan.
Pada akhirnya Irwan berkonsultasi ke kuasa hukum mengenai apa yang dialaminya. Berangkat dari situ, Irwan mulai berani untuk membongkar satu per satu perkara ini.
"Saya sih dapat cerita dari Anang bahwa beliau mendapat tekanan-tekanan tertentu terkait proyek BTS terlambat dan sebagainya. Jadi selain dari Jemmy, juga dana lain yang masuk namun penyerahan kepada pihak tersebut dilakukan Pak Windi," ucap Irwan.
"Saya baru tahu itu pada saat penyidikan. Nama itu sempat saya dengar tapi saya tidak ingat. Pada saat penyidikan Pak Windi, saya sebagai saksi, saya dengar namanya Nistra," imbuh Irwan.
Jemmy yang dimaksud Irwan adalah Jemmy Sutjiawan yang baru-baru ini juga dijerat sebagai tersangka. Jemmy disebut berperan memberikan sejumlah uang agar mendapat proyek pengerjaan BTS paket 1 sampai dengan 5. Sedangkan soal Nistra, hakim mencecarnya ke Windi.
Siapa Windi?
Windi yang dimaksud Irwan adalah sosok yang duduk di sampingnya di kursi saksi. Windi sejatinya juga menjadi terdakwa dalam perkara ini tapi dalam sidang, Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera itu hadir sebagai saksi mahkota.
Hakim lantas mengalihkan pertanyaan ke Windi. Hakim menanyakan soal sosok yang disebut Irwan menerima aliran uang dari Windi.
"Saudara tidak bisa sebut orangnya?" tanya hakim.
"Belakangan di penyidikan, Yang Mulia. Jadi saya mendapatkan nomor telepon dari Pak Anang, nomor telepon seseorang namanya Nistra," ucap Windi yang dalam perkara ini berperan sebagai 'distributor' duit-duit yang sudah dikumpulkan Irwan.
Windi mengaku saat itu berkomunikasi melalui aplikasi perpesanan bernama Signal. Dari komunikasi itu diketahui bila uang yang diantarnya itu untuk K1.
"K1 tuh apa?" tanya hakim.
"Ya itu makanya saya tidak tahu, Pak. Akhirnya saya tanya ke Pak Irwan. K1 tuh apa. Oh katanya Komisi I," jawab Windi.
Hakim mengejar kesaksian Irwan dan Windi. Sampai pada titik di mana Irwan mengaku tahu bila Nistra yang dimaksud adalah staf dari salah satu legislator di Komisi I DPR.
"Belakangan saya tahu dari pengacara saya, beliau orang politik, staf salah satu anggota DPR," ucap Irwan.
"Haduh saudara stres kayaknya nih. Iya stres? Kelihatan dari wajahnya. Windi juga. Terus terang saja. Nistra itu siapa? Apa hubungannya?" tanya hakim.
Namun pertanyaan itu tak bersambut jawaban jelas dari Irwan maupun Windi. Hakim lantas menanyakan hal lain.
"Berapa diserahkan ke dia?" tanya hakim.
"Saya menyerahkan 2 kali, Yang Mulia, totalnya Rp 70 miliar," jawab Irwan.
Gebrak Meja
Windi Purnama juga mengungkap uang proyek penyediaan BTS 4G Kominfo juga mengalir ke seseorang bernama Sadikin selaku perwakilan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Windi mengatakan BPK itu menerima uang senilai Rp 40 miliar.
Mulanya, dia mengaku diminta Anang untuk menyerahkan uang kepada perwakilan BPK bernama Sadikin. Perintah Anang itu melalui grup aplikasi perpesanan dengan nama 'signal'.
"Nomor dari Pak Anang seseorang atas nama Sadikin. Nomor teleponnya diberikan oleh Pak Anang lewat signal," kata Windi.
"Sodikin apa Sadikin?" tanya hakim Fahzal Hendri.
"Sadikin," kata Windi.
"Berapa?" tanya hakim.
"Itu saya tanya untuk siapa, untuk BPK Yang Mulia," kata Windi.
"BPK atau PPK? Kalau PPK Pejabat Pembuat Komitmen. Kalau BPK Badan Pemeriksa Keuangan. Yang mana?" tanya hakim lagi.
"Badan Pemeriksa Keuangan Yang Mulia," kata Windi.
Uang itu dikirim atas perintah Anang. Windi menyerahkan uang itu dengan mengantarnya secara langsung.
"Dikirimlah ke orang yang bernama Sadikin itu?" tanya hakim.
"Dikirim Yang Mulia," jawab Windi.
"Bagaimana cara kirimnya?" tanya hakim lagi.
"Saya serahkan, antar langsung," jawab Windi.
Windi mengatakan menyerahkan uang itu di salah satu parkiran hotel mewah di Jakarta senilai Rp 40 miliar. Sontak, hal itu membuat hakim kaget hingga menggebrak meja.
"Di mana ketemunya sama Sadikin itu?" tanya hakim
"Ketemunya di Hotel Grand Hyatt," jawab Windi.
"Hotel mewah itu Pak?" tanya hakim.
"Di parkirannya Pak," jawab Windi.
"Oh parkirannya. Tidak sampai masuk ke hotel. Siapa yang menerima?" tanya hakim.
"Seseorang yang bernama Sadikin," jawab Windi.
"Berapa Pak?" tanya hakim.
"Rp 40 miliar," ungkapnya.
"Ya Allah," respons hakim sampai menggebrak meja.
Windi mengatakan uang itu diserahkan dalam bentuk pecahan mata uang asing. Uang itu dibawa menggunakan koper.
"Rp 40 miliar diserahkan di parkiran? Uang apa itu? Uang rupiah atau dolar AS, dolar Singapura, atau Euro?" tanya hakim.
"Uang asing Pak. Saya lupa detailnya mungkin gabungan dolar AS dan dolar Singapura," jawab Windi.
"Pakai apa bawanya Pak?" tanya hakim.
"Pakai koper," jawab Windi.
Windi mengaku turut ditemani sopirnya saat menyerahkan uang tersebut. Lalu uang itu, kata Windi, diserahkan kepada seseorang bernama Sadikin. (detikcom/c)