Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Jumat, 23 Mei 2025

Rekrutmen Akpol Kini Pakai Alat Densus 88 untuk Deteksi Catar Radikal

* Jangan Percaya Lolos Rekrutmen dengan Bayar
Redaksi - Rabu, 12 Juli 2023 09:05 WIB
253 view
Rekrutmen Akpol Kini Pakai Alat Densus 88 untuk Deteksi Catar Radikal
(ANTARA FOTO/R.Rekotomo)
Ilustrasi siswa akpol. 
Semarang (SIB)
Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88 AT) Polri ternyata memiliki alat deteksi dini radikalisme. Alat itu kini digunakan Staf Sumber Daya Manusia (SSDM) Polri) untuk mendeteksi dini radikalisme di diri calon taruna dan taruni (catar) Akpol.
"Ini yang pertama kali (pelibatan Densus 88 dalam rekrutmen Akpol-red)," kata Direktur Pencegahan Densus 88 Antiteror Polri, Tubagus Ami Prindani, di Gedung Serbaguna Akpol, Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Senin (10/7).
Ami menerangkan, kini terorisme dan radikalisme telah menyusup ke aparatur negara seperti pegawai negeri sipil (PNS) hingga aparat penegak hukum. Oleh sebab itu, lembaga pemerintahan, menurut Ami, harus lebih berhati-hati.
"Seperti yang kita tahu ya, bahwa radikalisme dan terorisme itu sudah mengenai semua aspek masyarakat termasuk PNS, ASN, Polri dan penegak hukum lainnya pun ada," ucap Ami.
"Dari situ kan kita harus hati-hati, tidak boleh aparatur negara justru terkena radikalisme apalagi terorisme. Tentunya pencegahan harus dimulai dari proses rekrutmen awal," imbuh Ami.
Ami menuturkan, calon aparatur negara harus bersih dari paparan paham radikal dan terorisme. Oleh sebab itu perlu melihat lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal dan lingkungan pergaulannya.
"Dia harus bersih baik dari keluarganya, lingkungannya, pergaulannya harus bersih (dari radikalisme dan terorisme, red). Kalau dia sudah terkena dari awal kemudian masuk, tentu dia akan lebih mudah lagi untuk mengembangkan di dalam dan lebih memaparkan yang lainnya," jelas Ami.
Ami mengatakan, saat ini ditemukan sejumlah aparatur negara yang terpapar radikalisme saat berdinas. Untuk itu Ami menegaskan, akan lebih bagus jika paham berbahaya tersebut dicegah sedari hulu.
"Memang banyak yang terkena (radikalisme dan intoleran, red) dari saat dinas, tapi kan akan lebih bagus kalau dari awalnya itu bersih, tidak terkena paham-paham yang radikal," ucap Ami.
Ami menuturkan, sejak tahun lalu Densus 88 Antiteror memiliki alat asesmen radikal bernama 'Asesmen Moderasi Indonesia'. Alat itu, sambung Ami, dilengkapi komponen-komponen pendeteksi radikalisme dan terorisme.
"Memang baru tahun lalu kami membuat alat asesmen radikal, namanya 'Asesmen Moderasi Indonesia'. Alat ini bertujuan untuk mendeteksi apabila ada masyarakat yang terkena radikalisme. Kita punya tools yang nanti mereka akan mengisi kuesioner-kuesioner, nanti akan terlihat dia radikal atau tidak," terang Ami.
Terakhir, dia menyampaikan paparan radikalisme dan terorisme pada anggota Polri menjadi perhatian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Oleh sebab itu pihaknya membuat alat Asesmen Moderasi Indonesia yang telah diuji berulang kali akurasinya untuk mencegah masuknya paham radikalisme dan terorisme di Polri.


Jangan Percaya
Sementara itu, Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia (As SDM) Irjen Dedi Prasetyo mengimbau masyarakat tak lagi percaya dengan hasutan dan iming-iming janji lolos rekrutmen Polri dengan membayar sejumlah uang. Dedi menegaskan, jika ada yang mengaku bisa meloloskan calon peserta rekrutmen dengan imbalan, pasti orang tersebut sedang melakukan penipuan.
"Jangan mudah terprovokasi oleh hasutan-hasutan orang, yang dengan cara-cara secara instan bisa masuk ke polisi. Apalagi dengan membayar uang tertentu, itu pasti dibohongin," kata Dedi di Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Selasa (11/7).
Dedi meminta masyarakat juga melek informasi soal banyaknya kasus penipuan modus rekrutmen Polri. Sejak awal pendaftaran rekrutmen Polri dibuka, sambung Dedi, pihaknya dan jajaran telah mensosialisasikan masuk Polri gratis tanpa pungutan biaya.
"Ya memang dari berbagai macam kasus (penipuan) yang terjadi, yang sudah diungkap oleh Polri, ada kejadian di Sumatera Utara dan yang terakhir itu yang pedagang bubur yang di Cirebon, itu seperti itu. Jadi masih ada sebagian masyarakat (yang percaya dengan memberi sejumlah uang bisa jadi polisi-red)," jelas Dedi.
Dedi menuturkan banyak kasus penipuan modus rekrutmen Polri yang terungkap karena orang tua peserta rekrutmen merasa dibohongi saat sudah membayar sejumlah uang kepada orang tertentu, tetapi anaknya tetap tidak lolos seleksi. Dedi menekankan kelulusan peserta rekrutmen Polri adalah berdasarkan kemampuan dan persiapan maksimal. Tidak ada cara instan.
"Pada kenyataannya, banyak yang tidak lulus. Karena apa? Karena semuanya boleh dikatakan persiapannya tidak maksimal. Persiapannya instan. Nah itu kita mengharapkan kepada masyarakat untuk betul-betul apabila ingin menjadi anggota Polri, dipersiapkan semaksimal mungkin fisiknya, kemudian kesehatannya, kemudian intelektualnya, kemudian mentalnya. Dan harus yakin kepada kemampuan sendiri," ungkap Dedi. (detikcom/d)



Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru