Senin, 29 April 2024

Penyelenggara Pemilu Dianggap Langgar UU N0 7/2017 karena Tidak Penuhi 30 Persen Perempuan

* Gugatan di DKPP Masih Berproses
Redaksi - Minggu, 22 Oktober 2023 16:49 WIB
Penyelenggara Pemilu Dianggap Langgar UU N0 7/2017 karena Tidak Penuhi 30 Persen Perempuan
(Foto: SIB/Danres Saragih)
DISKUSI: Praktisi Hukum Irfan Fadila Mawi, Aktivis Perempuan dan Penggiat Pemilu Ester Ritonga dan Ketua Pro Kontra Demokrasi David Susanto SE MSp diabadikan saat pemaparan pada diskusi di Stadion Cafe Teladan, Jalan DR GM Panggabean, Medan, Jum
Medan (SIB)
Para penyelenggara Pemilu dianggap tidak memenuhi amanat UU No 7/2017, karena tidak mengakomodir 30 persen keterwakilan kaum perempuan.
Hal itu mencuat dalam Diskusi Terpumpun tentang “Keterwakilan Perempuan 30 Persen dalam Penerapan Pasal 10 ayat 7 UU No 7 tahun 2017, Apakah Masih Relevan untuk Penyelenggaran Pemilu 2024”.
Diskusi yang menghadirkan puluhan aktivis perempuan, mahasiswa, jurnalis, LSM dan penyelenggara Pemilu dari berbagai daerah itu digelar di Stadion Cafe Teladan, Jalan DR GM Panggabean Medan, Jumat (20/10). Narasumber yang hadir adalah praktisi hukum Irfan Fadila Mawi, aktivis perempuan dan penggiat Pemilu Ester Ritonga dan Ketua Pro Kontra Demokrasi, David Susanto SE MSp selaku penyelenggara diskusi.
David mengatakan, diskusi itu untuk mendukung pemerintah agar Pemilu 2024 berjalan aman, sukses dan kondusif.
Menurutnya, keterwakilan perempuan dalam penyelenggaran Pemilu 2024 di Sumut menjadi penting untuk dicermati. Pasalnya keterwakilan perempuan akan memberi warna dalam pengambilan keputusan penyelenggara Pemilu.
David prihatin, komisioner KPU maupun Bawaslu yang baru dilantik beberapa bulan lalu saja sama sekali tidak memiliki perwakilan kaum perempuan. KPU Sumut yang dilantik tanggal 24 September 2024 lalu terdiri dari Agus Arifin (Ketua), Raja Ahab Damanik, Robby Effendi, Fredianus Zebua, El Suhaimi, Sitori Mendrofa dan Kotaris Banurea seluruhnya anggota.
Bawaslu Sumut yang dilantik 17 Juli 2023 lalu juga terdiri dari laki-laki semua yaitu M Aswin Daipari Lubis (Ketua), anggota Johan Alamsyah, Joko Arie Budiono, Payung Harahap, Romson Poskoro Purba, Saut Boangmanalu dan Suhandi Situmorang.
"Keputusan ini melanggar UU No 7 Tahun 2017 Pasal 10 ayat 7 yang mengharuskan keterwakilan perempuan 30 persen. Hal ini akan berdampak pada pembentukan penyelenggara Pemilu di bawahnya," tegas David.
Dampak pengabaian 30 persen keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara Pemilu, lanjut David, akan mengurangi keragaman pandangan dalam pengambilan keputusan. "Termasuk kurang paham terhadap isu-isu yang relevan bagi perempuan yang berpotensi ketidak legimatasi hasil pemilihan dan dapat menimbulkan pelanggaran aturan lainnya," ujar pria yang pernah menduduki sejumlah jabatan di Panwaslu Sumut itu.
David berharap kondisi itu harus cepat diantisipasi institusi pemerintah atau lembaga yang konsern terhadap keterwakilan perempuan agar tidak terjadi ancaman keseteraan gender di masa depan. "Semoga pegiat demokrasi fokus untuk mengkritisi ini dan tidak terulang lagi di masa depan. Apalagi Sumut dikenal sangat heterogen," harapnya.
Irfan Fadila Mawi mengatakan, keterlibatan perempuan dalam politik wajib hukumnya. Menurutnya, ada banyak landasan hukum yang mengatur tentang keterlibatan perempuan dalam lembaga penyelenggara Pemilu, seperti UUD 45 dan UU No 7/2017 tentang Pemilu.
Kenyataannya perempuan selalu gagal memperjuangkan kesetaraan haknya di dunia politik. "Masih ada ketimpangan pada jabatan di pemerintahan, legislatif/partai politik dan penyelenggara Pemilu. Eksistensi perempuan dalam politik masih seperti cerita klasik seperti pemain figuran dalam diskursus kontemporer,” katanya.
Sementara Ester Ritonga memandang persoalan dari sisi kesetaraan gender yang terpinggirkan. Menurutnya kedudukan wanita di Indonesia warna-warni dan diskriminasi terhadap wanita juga berbeda-beda di setiap daerah.
"Masyarakat kita selalu memandang sesuatu secara patriarki dan perempuan selalu diposisikan dari sudut pandang pria. Artinya sistem sosial kita menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam kepemimpinan politik, otoritas moral maupun hak sosial," ujarnya.
Hal itu sangat terlihat di era tahun 1980 ke bawah dan wanita diposisikan dalam program pembangunan atau Women In Development (WIP). Namun tahun 90-an ke atas kondisinya mulai berubah, posisi perempuan sudah menjadi Women And Development (WAD).
Ester menceritakan perjuangannya untuk menempatkan perempuan di penyelenggara Pemilu, baik Bawaslu maupun KPU Sumut. "Kita sudah mengawal keterwakilan perempuan dari proses awal hingga akhirnya harus kandas saat fit and propper test. Padahal nama yang masuk hingga proses fit and propper test itu adalah orang-orang yang berpengalaman dan sangat kompeten. Tapi Bawaslu maupun KPU Pusat mengkandaskan perjuangan itu,” sebut Ester Ritonga.


Digugat ke DKPP
Menurutnya, jika perempuan dianggap tidak mampu menjadi penyelenggara pemilu di Sumut, ini tentu sangat menyayat perasaan kami sebagai para perempuan di Sumut. “Itu bentuk pemarjinalan perempuan Sumut dan melanggar UU No 7 tahun 2017 tentang Pemiluhan Umum. Di luar itu tentu merupakan bentuk pelanggaran HAM," tegasnya.
Keputusan tersebut kata dia sudah digugat ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan hingga saat ini masih dalam proses. (**)



Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Polisi Siagakan 7.783 Personel Gabungan Amankan Sidang Putusan MK
MK: Gibran Memenuhi Syarat sebagai Cawapres
MK Tidak Hanya Mengadili Angka, Tetapi Berwenang Nilai Tahapan Pemilu
Pertama di Indonesia, 7 DPO Prapidkan Polres Tapteng Terkait Kasus Penggelembungan Suara Pemilu 2024
KPU: Putusan MK Atas Sengketa Pemilu 2024 Bersifat Erga Omnes
Mensos Risma: Bansos Tunai Transfer, Bukan Beras
komentar
beritaTerbaru