Jakarta (SIB)- Meski dimungkinkan revisi UU Terorisme secara terbatas, namun harus dilakukan dengan cermat dan tepat pada aspek-aspek yang dibutuhkan.
Misalnya, jaminan kecepatan dan efektifitas dalam penindakan terorisme oleh aparat keamanan yang membutuhkan keterpaduan system deteksi dan antisipasi dini di antara aparat keamanan/intelijen. Sebaliknya, revisi tidak tepat, jika dimaksudkan untuk memperluas kewenangan aktif (penindakan) oleh lembaga intelijen negara.
Wakil Ketua DPD RI Faoruk Mohammad menyatakan hal itu kepada wartawan, di kompleks gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta, Selasa (16/2).
Menurutnya, dalam konteks pemberantasan terorisme ada dua kegiatan penting yang dilakukan aparat keamanan/intelijen. Pertama, deteksi merupakan domain aparat/satuan intelijen dan kedua ( penindakan) merupakan kewenangan aparat keamanan, yakni Polri/ TNI.
Dalam dua kegiatan tersebut, permasalahannya adalah keterbatasan Polri dalam menindaklanjuti hasil deteksi informasi intelijen karena penindakan oleh Polri harus memenuhi persyaratan yuridis yang ketat.
Makanya, revisi UU dimungkinkan dalam aspek penindakan oleh aparat keamanan (Polri) agar lebih longgar syarat-syarat penetapan tersangka untuk proses penyelidikan berdasarkan data dan informasi intelijen yang valid dan obyektif.
Demikian pula dengan masa penahanan, perlu mempertimbangkan efektifitas pengungkapan jaringan yang tidak sederhana. Tentu saja, perpanjangan masa penahanan dalam rangka penyelidikan dilakukan dengan tetap menghormati dan tidak melanggar Hak Azasi Manusia (HAM).
“Apabila Polri tidak menemukan keterlibatan yang bersangkutan dengan jejaring terror,harus dibebaskan,†kata Farouk Mohammad sembari menyebutkan bahwa tindak pidana terorisme merupakan kasus “luar biasaâ€, sehingga penanganannya, khususnya dalam konteks penindakan, rehablitasi dan pasca rehablitasi, harus dilakukan dengan prosedur dan cara yang “luar biasa†pula.
Faoruk Mohammad menyarankan, agar semua aparat keamanan/intelijen, termasuk pakar dan pengamat terkait, me revew system yang berjalan berdasarkan UU yang ada.
“Revisi perlu dilakukan, hanya untuk mendukung efektifitas penindakan oleh Polri, termasuk dalam konteks rehablitasi dan pasca rehablitasi terpidana teroris†katanya.
Anggota Komisi III DPR RI dari FPKB Jazilul Fawaid menegaskan bahwa kewenangan Badan Intelejen Negara (BIN) tidak perlu ditambah dengan kewenangan menangkap dan menindak terduga terorisme. Melainkan perlu ditingkatkan deteksi dininya, agar tidak kecolongan dengan tindakan terorisme. Seperti kasua bom di Thamrin Jakarta, pada pertengahan Januari 2016 lalu.
“Apalagi penangkapan itu dibutuhkan alat bukti yang kuat, sehingga bukan pada tempatnya kalau BIN diberi kewenangan penangkapan. Yang perlu adalah bagaimana deteksi dini itu bisa dilakukan agar terhindar dari tindakan terorisme,†kata Jazilul Fawaid .
Sekretaris FPKB DPR RI ini mengemukakan, PKB dan NU selalu mengutuk tindakan terorisme, karena menilai setiap tindakan apapun bentuknya jika dengan kekerasan, anarkisme, membawa korban jiwa dan merusak serta merugikan masyarakat, bangsa, dan negara, harus ditentang.
“Tak ada tempat bagi anarkisme di negeri ini, karena Pancasila sebagai asas tunggal dan NKRI sebagai bentuk negara kita sudah final. Karena NU dan PKB selalu melawan jalan kekerasan atas nama apapun,†ujarnya.
Direktur Eksekutif IPW Neta S Pane juga sependapat kasus bom Tharim Jakarta, tidak tepat dijadikan sebagai alasan untuk merevisi UU Terorisme tersebut.
Sebab, tak ada di dunia ini, BIN memiliki kewenangan penangkapan, karena cukup dengan deteksi dini. Sedangkan BNPT bertugas membuat strategi menembus jaringan teroris sampai ke Lapas, agar residivis sekeluar dari penjara tidak kembali menjadi teroris.
“Jadi, tak ada alasan revisi UU itu karena terorisme dari tahun ke tahun terus menurun,†jelas Neta.
Dia berpendapat, setidaknya ada 6 hal yang harus dievaluasi dengan tindakan terorisme selama ini. Yaitu, pertama, bagaimana residivis itu tidak kembali menjadi teroris. Kedua, memperbaiki program pembinaan di Lapas. Ketiga, Polri harus transparan dalam penggunaan dana asing (AS, Australia, Inggris dll). Keempat memperkuat BIN. Kelima, pengawasan terhadap proses penindakan oleh Densus 88 dan keenam adalah, pemberantasan terorisme itu jangan dijadikan sinetron.
(G 01/ r)