Selasa, 08 Oktober 2024

Larangan Rokok Dijual per Batang Dinilai akan “Matikan” Pedagang Asongan Berpenghasilan Recehan

Horas Pasaribu - Rabu, 31 Juli 2024 20:39 WIB
346 view
Larangan Rokok Dijual per Batang Dinilai akan “Matikan” Pedagang Asongan Berpenghasilan Recehan
Foto: SNN/Dok
Herri Zulkarnain Hutajulu
Medan (harianSIB.com)
Terkait larangan penjualan rokok per batang pasca Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, pengamat ekonomi Sumut Drs Herri Zulkarnain Hutajulu MH MSi menilai, peraturan tersebut terlalu terburu-buru.

Semestinya pemerintah menutup saja pabrik rokok, kalau memang pemerintah mau menjaga kesehatan masyarakat.

Pasalnya, kata Herri, jika PP tersebut diterapkan, usaha pedagang asongan akan "mati", karena jualan rokok bermodal besar tapi untung receh. Dengan menjual rokok eceran per batang, pedagang asongan mendapat untung sedikit lebih banyak daripada menjual per bungkus atau per slof. Konsumennya juga orang-orang menengah ke bawah, para penarik beca, sopir angkutan umum dan para buruh harian lepas diuntungkan bisa beli per batang.

Baca Juga:

"Pedagang asongan tidak mengharapkan kaya dari dagangan rokoknya, hanya untuk bisa menyambung hidup bersama keluarganya. Untung per batangnya hanya Rp300, harga rata-rata rokok Rp35.000 per bungkus berisi 16 batang, jika dijual per batang untungnya cuma Rp4.800 atau Rp5000," ungkap Herri kepada wartawan, Rabu (31/7), yang dihubungi lewat selulernya.

Dikatakannya, banyak masyarakat Sumut, khususnya Kota Medan yang ekonominya di bawah garis kemiskinan berjuang untuk hidup dengan menjadi pedagang asongan. Seharusnya mereka didukung karena tidak membebani negara dan tidak jadi pengemis.

Baca Juga:


Umumnya mereka berada di persimpangan jalan menjajakan rokok kepada sopir angkutan umum. Jika eceran tidak diperbolehkan pemerintah lagi, mereka akan jadi pengangguran. Karena kalau mereka tetap berjualan akan dikejar-kejar Satpol PP.

"Apakah kita mau mereka jadi pengangguran, lalu merampok karena tidak ada lagi yang bisa dijual. Itulah yang bisa mereka jual sesuai dengan modal yang mereka punya. Seharusnya mereka ini kita bantu, tapi anggaran negara tidak mampu untuk menalangi semua warga kurang mampu. Mereka sudah baik-baik berjualan, recehnya yang mereka dapat, tapi kenapa mau "diberangus" lewat Perda Kesehatan," katanya.

Diakuinya, merokok merusak kesehatan, tapi pendapatan negara dari rokok cukup besar. Indonesia bisa saja membuat larangan merokok dan menutup pabriknya. Tapi masyarakat harus disejahterakan dulu, seperti di negara Eropah dan negara maju lainnya, pengangguran digaji.

"Pemerintah harus gaji dulu pengangguran, baru bisa menutup pabrik rokok dan melarang seluruh warganya merokok," tegasnya.

Menurut Wakil Bendahara Umum DPP P Demokrat ini, jika peraturan ini diterapkan, perusahaan rokok akan menciptakan trik lain dengan memproduksi rokok dengan kemasan 2 batang, 3 batang dan 5 batang.

"Tentu perusahaan melakukan trik agar usaha rokok tidak rugi, berarti penerapan PP ini tidak efektif," katanya. (**)

Editor
: Donna Hutagalung
SHARE:
komentar
beritaTerbaru