Pematangsiantar (SIB)
Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) Kota Pematangsiantar menggelar dialog publik di Room Siantar Hotel Pematangsiantar, Sabtu (18/2). Membahas, Intelektual Kristen dalam Pembangunan Demokrasi di Indonesia.
Acara dipandu moderator, Berkatdo Saragih. Narasumber, Pdt Saut Sirait MTh (via zoom), diikuti, Ketua DPD PIKI Sumut, Dr Naslindo Sirait, Ketua DPC PIKI Pematangsiantar, Dr Med dr Sarmedi Purba SpOG, dan penanggap, Kristian Silitonga SH.
Pdt Saut dalam paparannya mengatakan bahwa, demokrasi yang pertama di dunia itu ada pada kitab 1 Samuel 8-10. Perjumpaan antara teokrasi dan demokrasi, terjadi ketika Saul diangkat menjadi raja. Kedua, secara intelektual dalam proses demokrasi ini. Secara sadar dengan sengaja dan terencana, itu harus menelisik sebenarnya, akar-akar sejarah kita.
Pertama ekklesia, ekklesia itu sangat berbeda dengan gereja sekarang. Ekklesia itu tidak pernah ada ritus (upacara keagamaan), ekklesia itu diambil dari Athena kuno. Sidang ekklesia pertama tahun 508 sebelum Yesus lahir. Kata ekklesia dan sidang ekklesia pertama dan mengapa sidang ini direkatkan kepada para pengikut Yesus. Ini perembesan nilai tanpa melakukan suatu penempatan penempatan orang-orang Kristen di posisi-posisi manapun.
Tetapi, bagaimana nilai-nilai Injil itu masuk, sehingga menjadi sikap-sikap pertimbangan-pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan dan gerakan ekklesia berhasil "menaklukkan imperium terbesar di dunia yaitu imperium Romawi tahun 303, tanpa senjata. "Jadi kata ekklesia ini sendiri secara substansial, itu sangat berbeda. Sehingga kita perlu, secara intelektual melakukan kritik. Jangan biarkan kami para pendeta ini, suka-sukanya melahirkan doktrin. Jadi harus dibangun," kata Pdt Saut.
Kristian Silitonga SH selaku penanggap mengatakan, esensinya sebenarnya bicara soal intelektual dalam membangun demokrasi, bukan soal mengaktivasi kembali apa yang disebut dengan argumentatif society. Itu yang hilang dari peredaran demokrasi kita, politik uang, politik identitas, politik sektarianisme (kebencian) sebenarnya bagian dari penumpang gelap yang mengisi kekosongan itu.
"Karena mereka tak punya preferensi (selera) politik dan demokrasi dalam menentukan pilihan. Jadi, apa yang dilihat dan dirasakan, walaupun itu praktis dan sesaat, menjadi preferensi satu satunya. Dalam memilih Caleg misalnya, kan hanya ditandai dengan serangan subuh siapa yang sampai. Memang ada hal lain di luar itu? Lalu kita bilang politik uang merajalela? Itu hanya bagian aksi dari sebuah kekosongan. Maka di titik itu, peran intelektual politik dalam demokrasi termasuk intelektual Kristen adalah menjaga kontinuitas kekosongan demokrasi supaya tidak ditumpangi penumpang gelap," pungkas Kristian.[br]
Ketua DPD PIKI Provinsi Sumut, Dr Naslindo Sirait juga mengatakan bahwa, pembangunan demokrasi di Indonesia juga harus dimulai dari penguatan masyarakat sipil. PIKI sebagai bagian elemen bangsa, sebagai perkumpulan intelektual, harus juga memberikan kontribusi dalam rangka membangun budaya politik.
"Budaya politik itu memberikan kesadaran baru, keinsyafan baru bagi kita, bahwa seluruhnya harus berperan, bagaimana demokrasi dibangun, yang akhirnya nanti akan memberikan berkah dan kesejahteraan bagi masyarakat, itu pesannya," tandasnya.
Ketua DPC PIKI Pematangsiantar, Dr Med dr Sarmedi Purba SpOG berharap, kegiatan ini dapat merangsang pendapatan dan semangat dari PIKI Pematangsiantar untuk bergerak dalam membangun demokrasi.
Turut hadir, anggota DPRD Sumut, Franky Partogi Wijaya Sirait, mantan anggota DPRD Simalungun, Ir Rospita Sitorus, anggota DPRD Pematangsiantar, Netty Sianturi, Staf Ahli Wali Kota Pematangsiantar, Drs Daniel Siregar, Daulat Sihombing, Hendra Simanjuntak dan lainnya.(D8/d)